
BIMATA.ID, Jakarta – Ibu Pertiwi telah lama diam. Ia melihat anak-anaknya tumbuh dalam semangat, lalu larut dalam konflik. Ia menampung air mata, menahan amarah, dan terus berharap bahwa suatu saat, akan datang seorang anak bangsa yang tak hanya mencintai negeri ini lewat kata, tapi lewat perbuatan yang terus menyala meski tak terlihat.
Di antara hiruk-pikuk politik dan suara yang saling menenggelamkan, ada satu sosok yang memilih berjalan dalam kesunyian pengabdian. Ia bukan tokoh yang mudah dipahami. Kata-katanya kadang terlalu jujur, sikapnya terlalu tegas. Ia tidak menang dengan popularitas, tapi dengan keteguhan. Tidak datang dengan janji indah, tapi dengan rekam jejak panjang.
Dulu, ia hanya dikenal sebagai pejuang. Seragamnya bukan jas, tapi pakaian lapangan. Ia berbaris, berlari, dan belajar menjaga negeri dari batas-batasnya. Namun waktu berubah. Ia terpanggil untuk mengabdi dalam peran yang lebih luas bukan lagi hanya di medan, tapi di tengah rakyat.
Perjalanan politiknya tak mudah. Ia jatuh berkali-kali. Bahkan, saat semua mata tertuju pada kemenangan orang lain, ia memilih tetap di tanah ini, membantu dari sisi yang tak banyak disorot. Ia menjadi pembelajar diam. Ia tidak membenci negeri yang tak langsung mempercayainya. Ia menunggu, bekerja, dan terus mencintai.
Baca Juga: Prabowo: Jika Pejabat Hentikan Boros Anggaran Ekonomi Indonesia akan Tumbuh Pesat
Dan akhirnya, hari itu tiba. Rakyat melihat kembali rekam jejaknya. Mereka menemukan bahwa kerja yang dilakukan dalam sunyi, lebih keras dari suara yang dikumandangkan di mimbar. Mereka memberi kepercayaan.
Ia tidak datang sebagai pemenang yang membalas. Ia hadir sebagai pemimpin yang memeluk. Ia mengajak yang pernah menjadi lawan untuk duduk bersama, mengingatkan bangsa ini bahwa kekuatan sejati bukan pada siapa yang menang debat, tapi siapa yang kuat menahan dendam.
Kini, ia berdiri di singgasana negeri. Tapi singgasana itu tidak terbuat dari emas atau kuasa, melainkan dari luka yang ia bawa, kesabaran yang ia pupuk, dan cinta yang ia jaga dalam diam.
Ia mulai bekerja. Membenahi akar yang rapuh. Membangun jalan, sekolah, dan lumbung. Ia menanam pohon harapan di lahan-lahan yang dulu terlupakan. Ia percaya bahwa negeri ini bisa berdiri dengan kakinya sendiri mengolah pangan, menciptakan energi, dan menjaga kehormatan tanpa harus tunduk pada dunia.
Ia tak pernah berkata ia akan menyelamatkan segalanya. Tapi ia percaya, jika satu demi satu dibenahi, maka masa depan akan punya pondasi yang kokoh. Ia ingin anak-anak negeri ini tumbuh bukan sebagai penonton perubahan, tapi sebagai pelaku utama.
Ibu Pertiwi kini tak lagi diam. Dalam senyumnya yang tenang, ia berkata:
“Tak semua pemimpin datang dengan sorak-sorai. Ada yang hadir setelah lama tenggelam, tapi ketika ia muncul, ia membawa terang.”
Dari pengabdian sunyi, ia kini duduk di singgasana negeri. Dan semoga dari sana, ia tak hanya memimpin, tapi menghidupkan kembali cita-cita bangsa ini dengan cinta, kerja, dan keikhlasan yang telah ia buktikan sejak dulu.
Simak Juga: Peduli Kebersihan Lingkungan, Legislator Gerindra Bersama Warga Kuningan Bersih-bersih Saluran Air




