BIMATA.ID, Jakarta – Bagi sebagian besar anak muda, politik kerap terasa seperti dunia yang jauh—penuh kebisingan, istilah teknis, dan pertikaian yang membingungkan. Setelah pemilu usai dan euforia reda, perhatian perlahan surut. Hidup kembali ke ritme normal, seolah-olah urusan negara selesai di bilik suara. Padahal, justru setelah pemilihan itulah, pekerjaan utama baru dimulai.
Keputusan-keputusan penting dari para pemegang kekuasaan terus bergulir, tanpa menunggu apakah kita sadar atau tidak. Ketika harga barang melonjak, akses internet makin mahal, ruang berbicara dipersempit, atau sistem pendidikan dirombak, semua itu bukan sekadar hasil dari nasib buruk. Itu adalah konsekuensi dari proses politik yang berjalan. Kita mungkin merasa tidak ikut campur, tapi dampaknya tetap mengetuk pintu hidup kita.
Mirisnya, banyak anak muda dibesarkan dengan gambaran bahwa politik itu jorok, membingungkan, atau hanya relevan bagi kalangan elite. Jarang sekali pembahasan tentang pentingnya politik hadir di ruang kelas atau meja makan. Alhasil, sikap apatis pun tumbuh subur. Menyaksikan dari kejauhan dan bersuara di media sosial dianggap sudah cukup. Padahal, diam bukan berarti netral; diam bisa berarti memberi ruang bagi suara yang paling lantang untuk mengarahkan bangsa.
Godaan untuk acuh semakin besar di era digital. Media sosial dibanjiri hiburan cepat saji, drama selebriti, dan tren viral yang jauh lebih menarik dibandingkan membaca naskah undang-undang atau menyimak perdebatan calon pemimpin. Tentu, ini bukan sepenuhnya kesalahan kita. Tapi kalau segala hal yang penting terus dianggap melelahkan dan membosankan, lalu kapan kita mulai peduli terhadap isu-isu yang menentukan arah hidup kita?
Baca Juga: Presiden Prabowo Apresiasi Perkembangan Program Makan Bergizi Gratis
Faktanya, banyak kebijakan strategis ditetapkan secara senyap, tanpa diskusi publik yang memadai. Revisi terhadap Undang-Undang TNI adalah contoh nyata. Banyak dari kita mungkin baru mengetahuinya setelah media menyuarakan kegelisahan. Andai saja generasi muda lebih aktif memantau dan mempertanyakan, bukan tidak mungkin alurnya akan berbeda.
Tidak semua orang harus menjadi demonstran, aktivis, atau penulis opini di media massa. Tapi setiap anak muda punya ruang untuk berperan. Mulai dari membaca berita secara rutin, ngobrol soal isu terkini bersama teman, ikut diskusi di komunitas kampus, hingga memilih secara sadar saat pemilu. Suara juga bisa hadir lewat karya, konten digital, atau video pendek. Politik tak harus selalu serius atau kaku. Ia bisa dibawa dalam bentuk yang lekat dengan keseharian kita.
Sebab pada akhirnya, politik adalah perkara siapa yang diperhatikan dan siapa yang diabaikan. Jika anak muda terus memilih bungkam, maka kita hanya akan menjadi generasi yang menerima tanpa bisa menentukan. Namun, jika kita berani mendengar dan mengutarakan kegelisahan, kita punya kesempatan untuk mengarahkan arah bangsa. Ketika politik terasa jauh, saat itulah kita perlu mendekat. Bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan agar suara kita tak hilang dalam keramaian.
Simak Juga: Gerindra Papua Bahas Evaluasi Pemilu dan Dukungan MBG Prabowo
