
BIMATA.ID, Jakarta — Sosok Goenawan Mohamad dikenal luas sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia—pendiri majalah Tempo, penulis esai-esai sastra dan sosial yang mewarnai ruang wacana publik selama puluhan tahun.
Namun di tengah pengaruh besarnya, sejumlah kalangan kini mempertanyakan arah pemikiran yang ia sebarkan—terutama saat menyentuh isu moral dan kebebasan.
Martho Zain Warat, Sekretaris Jenderal DPP Gerakan Sahabat Komendan (GASMEN).
Dalam pernyataannya, Martho menegaskan bahwa Indonesia menghadapi gelombang liberalisasi nilai, dan tokoh seperti Goenawan tak bisa dilepaskan dari proses tersebut.
“Kita menghargai kebebasan berpikir. Tapi ketika kebebasan dijadikan alasan untuk menormalisasi penyimpangan nilai, di situlah letak persoalannya. Goenawan Mohamad adalah contoh nyata bagaimana elite intelektual membungkus dekadensi dalam bahasa sastra dan filsafat,” ujar Martho dalam rilisnya kepada media ini. Senin (7/4).
Kritikan tentu saja memiliki dasar, Martho menyinggung keterbukaan Goenawan dalam merespons orientasi seksual putrinya, Paramita Mohamad, yang secara terbuka menyatakan diri sebagai bagian dari komunitas LGBT.
Dalam sebuah artikel di platform Melela.org, Paramita menceritakan momen saat ia mengakui dirinya sebagai lesbian kepada orang tuanya, termasuk Goenawan.
“Saya bilang pada Ayah, ‘Jujur itu tidak sulit. Buktinya saya bisa mengakui bahwa saya seorang lesbian.’ Ayah hanya diam. Tapi kemudian mereka meninggalkan saya surat dan buku, isinya: Kami menerima kamu,” tulis Paramita dalam artikel berjudul Mudahnya Kejujuran à la Paramita Mohamad.
Menurut Martho, pernyataan ini mencerminkan sikap ideologis yang permisif terhadap nilai-nilai asing yang bertentangan dengan norma mayoritas masyarakat Indonesia.
“Ketika penyimpangan diangkat sebagai kisah inspiratif, dan ketika tokoh masyarakat merespons dengan afirmasi, itu bukan lagi ranah pribadi. Itu adalah pesan ideologis yang sedang ditanamkan ke publik,” ujarnya.
Goenawan memang dikenal sebagai pendukung kuat pluralisme dan kebebasan berekspresi.
Dalam esai-esaianya, ia menolak pemaksaan norma tunggal dalam masyarakat dan mendorong ruang seluas-luasnya untuk keberagaman. Namun bagi GASMEN, sikap tersebut telah melewati batas.
“Kebebasan tanpa koridor hanya akan melahirkan kekacauan nilai. Goenawan bukan hanya membiarkan, tapi juga menormalisasi pergeseran nilai yang seharusnya diluruskan. Di sinilah peran elite justru menjadi masalah,” tegas Martho.
GASMEN mengaku tengah menyiapkan forum diskusi dan deklarasi etika nasional untuk merespons makin derasnya arus ideologi liberal dalam media, keluarga, dan pendidikan.
Goenawan Mohamad dan para pemikir sehaluan dengannya, menurut GASMEN, harus dikritisi secara terbuka demi menjaga arah moral bangsa.
“Kami tidak membenci individu. Kami mengoreksi gagasan. Dan gagasan yang Goenawan wariskan bukanlah jalan yang sehat bagi masa depan bangsa Indonesia,” tutup Martho.