
BIMATA.ID, Jakarta – Pengamat demokrasi yang juga Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, menilai bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) sangat penting untuk mencegah konflik antara TNI dan Polri.
Menurutnya, revisi undang-undang ini bisa menjadi solusi dalam mengatasi ketegangan yang kerap terjadi antara dua institusi negara tersebut.
Dalam 10 tahun terakhir, Ismail mencatat terdapat sekitar 37 kasus ketegangan antara TNI dan Polri, terutama di tingkat bawah.
Dia menilai bahwa ketimpangan kesejahteraan, peran, dan perlakuan menjadi faktor utama pemicu ketegangan antara kedua lembaga tersebut.
“Sebenarnya ini adalah soal argumen sosiologis pragmatis. Ada ketimpangan kesejahteraan, peran, dan perlakuan, khususnya dalam 20 tahun terakhir,” kata Ismail, Selasa (04/03/2025).
Dia menerangkan ,dalam 20 tahun terakhir, keberadaan TNI tidak dioptimalkan sebagaimana mestinya.
Di masa lalu, TNI yang saat itu masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki kekuatan sosial dan politik, namun kini perannya semakin dibatasi.
“padahal banyak keahlian yang bisa dimanfaatkan oleh mereka,” lanjutnya.
Ia menekankan bahwa perubahan UU TNI harus mempertimbangkan pemanfaatan keahlian TNI dalam berbagai sektor, tanpa melanggar prinsip demokrasi.
Meskipun demikian, Ismail menegaskan bahwa revisi UU TNI harus tetap menjaga prinsip demokrasi, terutama dalam hubungan antara sipil dan militer.
“Pendasaran filosofis bahwa TNI bertugas melindungi negara memang harus dipertahankan, tetapi juga harus diimbangi dengan prinsip demokrasi yang jelas” pungkasnya.