
Pernyataan Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa dirinya memaafkan para koruptor, namun meminta mereka mengembalikan uang yang telah mereka ambil ke negara, bagi saya merupakan sebuah pendekatan baru yang menarik sekaligus realistis dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana korupsi telah mengakar kuat di hampir semua lini birokrasi, dunia usaha, bahkan di sektor penegakan hukum itu sendiri. Di tengah kompleksitas ini, Prabowo tampaknya menawarkan jalan tengah yang mengedepankan pemulihan kerugian negara, tanpa sepenuhnya mengabaikan aspek moral dan keadilan.
Penting untuk dipahami bahwa memaafkan di sini bukan berarti melupakan atau memberikan impunitas. Prabowo tidak sedang memberikan tiket bebas bagi para pelaku korupsi untuk melenggang seolah-olah mereka tidak pernah merugikan negara. Justru sebaliknya, Prabowo ingin menekankan bahwa negara mengutamakan pengembalian aset hasil korupsi, karena kerugian nyata yang dialami rakyat jauh lebih penting untuk dipulihkan daripada sekadar menghukum seseorang secara fisik.
Pendekatan ini, bagi saya, bukanlah bentuk kelemahan, melainkan refleksi kearifan politik sekaligus pragmatisme pemerintahan Prabowo di tengah kenyataan bahwa korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu serakah, melainkan juga produk dari sistem yang tidak sehat. Dalam sistem yang penuh celah, tumpang tindih regulasi, serta lemahnya pengawasan internal, korupsi telah menjadi semacam penyakit sistemik yang melibatkan banyak pihak, baik di pemerintahan, swasta, hingga oknum penegak hukum itu sendiri. Menumpas semua pelaku sekaligus dengan pendekatan keras mungkin terdengar ideal, tetapi pada praktiknya justru bisa membuat birokrasi lumpuh dan menimbulkan kegaduhan politik berkepanjangan.
Karena itu, saya melihat bahwa Prabowo ingin mengajak para pelaku korupsi untuk berpikir rasional. Bagi mereka yang telah menikmati uang haram dari hasil memperkaya diri sendiri, Prabowo tidak serta-merta mengutuk atau menjatuhkan vonis mati sosial. Sebaliknya, Prabowo menawarkan kesempatan kedua: “Kembalikan uang yang kalian ambil, mari kita bangun Indonesia bersama-sama.” Ini bukan ajakan lembek, tetapi sebuah strategi kompromi terukur, yang tujuannya adalah memulihkan kerugian negara sambil tetap menjaga stabilitas nasional.
Bagi saya, pendekatan ini sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia, mengingat fakta bahwa pengembalian aset negara hasil korupsi (asset recovery) selama ini sangat minim. Banyak kasus korupsi yang berujung pada vonis pidana berat, tetapi kerugian negara tidak pernah benar-benar dipulihkan. Uang hasil korupsi kadung diputar, disembunyikan di luar negeri, atau diubah bentuk menjadi aset yang sulit dilacak. Akibatnya, negara tetap rugi meskipun pelaku mendekam di penjara. Padahal, uang itu seharusnya bisa digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, infrastruktur, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Selain itu, saya menilai bahwa sikap Prabowo juga mencerminkan pemahaman yang lebih dalam terhadap konteks politik dan ekonomi Indonesia. Di balik banyak kasus korupsi besar, sering kali ada jaringan oligarki kuat yang melibatkan elite politik, pengusaha besar, hingga oknum aparat penegak hukum. Membasmi korupsi tanpa kompromi dalam sistem seperti ini bukan hanya sulit, tetapi bisa menciptakan destabilisasi politik yang berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan itu sendiri. Karena itulah, Prabowo tampaknya memilih pendekatan gradual: menyelesaikan akar masalahnya dengan mengajak pelaku bekerja sama, ketimbang sekadar menangkap dan menghukum tanpa hasil nyata bagi negara.
Namun, bukan berarti saya menilai pendekatan ini tanpa risiko. Ada tantangan besar yang harus dijawab Prabowo jika ingin strategi ini berhasil. Pertama, bagaimana memastikan bahwa memaafkan tidak berubah menjadi celah baru bagi impunitas? Jangan sampai ada kesan bahwa siapa pun yang korupsi bisa lolos hanya dengan “minta maaf” dan mengembalikan sebagian uang. Kedua, bagaimana memastikan bahwa pendekatan ini dijalankan secara transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif? Jangan sampai ada tebang pilih, di mana hanya koruptor kecil yang diminta mengembalikan uang, sementara pemain besar justru dilindungi atas nama stabilitas politik.
Terlepas dari tantangan tersebut, saya melihat bahwa Prabowo sedang berupaya membangun narasi baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Narasi yang tidak hanya mengandalkan hukuman fisik dan pamer kekuasaan, tetapi juga mengedepankan pendekatan solutif yang berpijak pada pemulihan kerugian negara sebagai tujuan utama. Ini adalah bentuk keberanian politik sekaligus refleksi dari kematangan seorang pemimpin yang memahami bahwa membangun negara tidak cukup hanya dengan menakut-nakuti, tetapi juga dengan merangkul dan mengajak semua pihak memperbaiki kesalahan bersama-sama.
Sebagai warga negara, saya mendukung upaya ini, selama dilakukan dengan transparan, adil, dan konsisten. Saya percaya, jika diterapkan dengan pengawasan ketat dan komitmen moral yang kuat, pendekatan ini bisa menjadi terobosan baru yang lebih efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia. Karena pada akhirnya, yang paling penting bukan seberapa banyak orang dipenjara, melainkan seberapa banyak uang negara bisa diselamatkan dan dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Untuk Bapak Prabowo Subianto, kami rakyat Indonesia berdiri di belakang Anda. Kami mendukung sepenuhnya langkah-langkah tegas, berani, dan penuh kebijaksanaan yang Bapak tempuh dalam upaya memberantas korupsi di negeri ini. Jangan pernah ragu, Bapak tidak berjuang sendirian. Ada jutaan rakyat Indonesia yang percaya bahwa di bawah kepemimpinan Bapak, Indonesia akan menjadi bangsa yang lebih bersih, lebih bermartabat, dan lebih sejahtera. Teruslah maju, Bapak Prabowo, kami bersama Anda!




