Bimata

Paskibraka Lepas Jilbab, Proffesor UIN Suka Yogya Angkat Bicara soal Pancasila dan Keyakinan Agama

BIMATA.ID, Jakarta – Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Proffesor Iswandi Syahputra turut berkomentar soal anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) perempuan yang diwajibkan melepas jilbab saat pengukuhan di Istana Negara.

Menurutnya, sebagai dasar negara, Pancasila bagi bangsa Indonesia bukan saja berguna mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara, tapi juga dapat dimaknai sebagai pedoman dan prinsip dasar dalam kehidupan.

Termasuk di dalamnya dapat digunakan sebagai dasar pengakuan ragam busana nusantara di Indonesia, terutama dalam setiap upacara penyelenggaraan formal negara seperti upacara negara memperingati HUT Republik Indonesia.

“Pancasila itu juga rumah bagi ragam busana nusantara di Indonesia. Sebab secara kultural, Pancasila memang refleksi budaya bangsa yang beragam, termasuk refleksi budaya dan busananya. Merayakan HUT RI dengan mengenakan busana daerah misalnya, bisa menjadi bentuk refleksi formal keragaman busana nusantara,” kata guru besar bidang ilmu komunikasi ini.

Menurutnya, Indonesia memang ditakdirkan beragam, karena itu perlu persatuan. Sehingga tantangan keberagamaan itu adalah persatuan. Sebab, perpecahan terjadi karena keragaman.

“Indonesia yang sudah ditakdirkan beragam ini, jangan lagi dipaksa untuk seragam. Jika keragaman itu bentuk sikap Pancasilais, maka dapat dikatakan keseragaman bentuk sikap tidak pancasilais. Sebab paksaan untuk keseragaman dapat menekan keragaman, sehingga justru dapat memecah belah persatuan,” urainya.

Nah, soal Paskibraka yang melepaskan jilbab, Iswandi menjelaskan, Paskibraka itu memang awalnya seragam (uniform).

“Paskibraka inikan pasukan, ya memang harus seragam, apalagi dalam upacara resmi kenegaraan. Pakaian dan semua atribut harus seragam, gerakannya seragam, bahkan tinggi badanya juga sedapat mungkin dibuat seragam,” ucap Iswandi.

Namun demikian, tegasnya, saat keseragaman itu bertemu dengan keyakinan agama, di sini perlu dibuka ruang negosiasi dan ruang kompromi yang saling mengakomodasi tapi tetap dalam margin toleransi seragam.

“Misalnya, dibolehkan mengenakan jilbab, namun diatur warna, ukuran dan cara mengenakannya agar tetap selaras dan seragam dalam sebuah parade pasukan. Sebenarnya sudah tidak ada masalah, karena semuanya sudah diatur”, paparnya.

Terlebih, kata Iswandi, saat ini pasukan TNI dan Polri sudah mengijinkan prajurit wanita dan Polwan berjilbab.

“Tren demokrasi ke depan memang mengarah ke akomodasi keyakinan keagamaan dalam penyelenggaraan negara. Tentu saja tetap dalam koridor kenegaraan. Misalnya di Amerika, polisi dari etnis Sikh dari India, sudah boleh menggunakan sorban bahkan berjenggot saat bertugas dan berseragam. Namun tetap diatur warna cara penggunaan dan ukurannya. Demikian pula dengan Angkatan Darat Amerika, bahkan membolehkan prajuritnya memakai sorban dan memelihara jenggot untuk alasan medis atau agama,” tutupnya.

Exit mobile version