BIMATA.ID JAKARTA Deputi Hukum TPN Ganjar Mahfud Prof Todung Mulya Lubis menyampaikan bahwa hari ini, Selasa (6/2/2024) dirinya bersama sejumlah TPN Bidang Hukum mendatangi Bawaslu RI di Jakarta.
“Kami ingin Bawaslu bersikap tegas, tidak ambigu, dan profesional. Jangan sampai apa yang terjadi di MK, di KPU kemudian terjadi juga di Bawaslu, nanti dilaporkan kembali ke DKPP,” tukas Todung dalam diskusi media di Media Centre TPN, Cemara, Jakarta.
Dalam kesempatan ini, Todung hadir bersama Wakil Ketua Koordinator TPN, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi dan Wakil Deputi Hukum TPN Firman Jaya Daeli.
Todung mencatat, dari jumlah pelanggaran yang dikumpulkan ada 400-an laporan pelanggaran masuk dari berbagai sumber di hotline TPN.
“Tapi, ada juga sebuah aplikasi yang sudah mengumpulkan hingga 40 ribu pelanggaran, lengkap dengan peta kecurangan di 31 provinsi di Indonesia. Di luar itu, masih banyak ‘dark numbers’, pelanggaran-pelanggaran yang tak dilaporkan,” kata Todung.
Pengacara senior ini menegaskan, masyarakat harus bersama mengawal agar pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu bisa diminimalisir.
“Kami mengingatkan kepada semua pihak agar Pemilu ini tidak menjadi cacat. Mengapa penting, karena hajatan demokrasi ini terjadi lima tahun sekali, masyarakat punya hak untuk memilih dan tidak boleh satu suara pun dirugikan atau ditinggalkan,” ungkapnya.
Todung menyoroti kasus kertas suara ganda di Malaysia, sementara, dalam pengalamannya sebagai duta besar, kemungkian banyak warga negara Indonesia tak terdaftar sangat besar. “Dari sini kita tak tahu suara mereka ini rentan dimanipulasi,” urainya.
Massifnya pelanggaran di berbagai tempat seperti politisasi bansos, intervensi kekuasaan dan kriminalisasi suara-suara kritis, menimbulkan persepsi ada kemungkinan pemilu berlangsung tidak jujur dan adil, termasuk adanya manipulasi berupa penggelembungan suara.
Todung menambahkan, persepsi (kecurangan) yang timbul di masyarakat sulit untuk disangkal akibat massifnya kecurangan yang terjadi. “Kita harus menjaga pemilu ini, karena kita disaksikan oleh seluruh masyarakat bahkan seluruh dunia, bisakah pemilu di Indonesia berlangsung ‘play by the rules, play by the ethics, sesuai hukum yang ada’,” kata Todung.
Todung mengungkapkan diskusinya dengan beberapa penasihat hukum, dengan dua putusan terjadinya pelanggaran etika baik pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, sudah cukup menjadi basis hukum untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membatalkan pen-cawapresan Gibran Rakabuming Raka.
“Kami mencadangkan hak kami untuk melakukan upaya hukum yang tersedia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Todung.
Terakhir, Todung menegaskan pula bahwa pemilu bukan semata-mata mementingkan hasil siapa yang menang, tapi juga bagaimana prosesnya selama pemilihan.
“Pemilu yang lahir dari proses cacat atau dari hasil nepotisme, dan sarat dengan pelanggaran etik, tidak akan memiliki legitimasi kuat di mata rakyat.” pungkas Todung dengan kritis.
(W2)