BIMATA.ID, Jakarta – Hingga akhir September 2023, hutang pemerintah telah meningkat dari sebelumnya sebesar Rp7.891,61 triliun pada bulan Agustus menjadi Rp7.870,35 triliun, mengalami kenaikan sebesar Rp 21,26 triliun. Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan, menyoroti pentingnya penggunaan utang pemerintah yang bersifat produktif.
“Dari dulu kita selalu mengkritik agar hutang ini digunakan untuk keperluan yang produktif. Utang yang produktif berarti kemampuan untuk membayarnya akan segera tersedia. Namun, jika utang tersebut tidak produktif, berarti manfaat atau keuntungan yang kita peroleh dari uang hutang ini masih jauh dari mencukupi, dan itu akan menjadi beban,” ujar Marwan Cik dalam keterangannya kepada media, Senin (06/11).
Baca Juga : Pengamat: Berbagai Upaya Untuk Jegal Gibran Jadi Cawapres Prabowo
Politisi Partai Demokrat ini menegaskan bahwa pemerintah harus kembali menetapkan skala prioritas terkait pembiayaan yang diperoleh dari utang, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian.
“Jadi, kita harus kembali membahas bahwa pemerintah harus mengatur kembali prioritasnya. Apakah pembiayaan dengan utang ini produktif? Apakah ini harus dilakukan sekarang? Dan apakah akan berdampak pada perekonomian kita? Jika belum, maka kita harus menunda,” tegas anggota Badan Anggaran DPR RI.
Pemerintah sendiri memiliki dua jenis utang, yaitu surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Hingga September 2023, mayoritas utang pemerintah masih didominasi oleh SBN, sebanyak 88,86%, sementara sisanya adalah pinjaman sebesar 11,14%.
Simak Juga : Prabowo Terima Deklarasi Dukungan Jaringan Induk KUD
Dengan jumlah utang mencapai Rp7.891,61 triliun, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) per September 2023 menjadi 37,95%, naik dari angka 37,84% pada bulan sebelumnya. Meskipun demikian, rasio ini masih jauh di bawah batas maksimal yang diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang membatasi rasio utang pemerintah maksimal sebesar 60% dari PDB.