BIMATA.ID, Jakarta – Pakar hukum Hikmahanto Juwana menyatakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagai aturan pelaksana Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan harus mempertimbangkan seluruh aspek.
Dia mengatakan, saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja.
Dalam kasus pembahasan draf RPP, lanjutnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (03/10), di luar kesehatan pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri hasil tembakau (IHT) nasional, hingga penerimaan negara.
“Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan,” kata Hikmahanto, dikutip dari antaranews, Selasa (03/10/2023).
Baca Juga : Survei LSI Denny JA, Elektabilitas Prabowo Kokoh Pepet 40% Lampaui
Aturan tersebut di antaranya larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan produk secara ketengan, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, dan aturan kemasan minimal 20 batang/bungkus.
Hikmahanto yang juga rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi ini menegaskan, jika draf RPP ini dipaksakan akan punya implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya.
“Akibatnya industri hasil tembakau (IHT) nasional bisa mati. Lalu bagaimana dengan nasib petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau?,” tuturnya.
Simak Juga : Kang Dedi Mulyadi di Bojongkoneng: Prabowo Dicintai Tetangga
Ia melanjutkan, apabila RPP ini disahkan akan marak penyelundupan hasil tembakau dari luar negeri dan rokok ilegal. Belum lagi pemerintah harus mampu mengganti sumber pemasukan negara, yang jumlahnya berkisar 9—13 persen dari total penerimaan pajak negara.
“Saya mensinyalir LSM luar negeri berada dibalik draf RPP Kesehatan. LSM ini sudah lama memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC),” tambahnya.
Menurut dia, draf RPP tersebut seharusnya tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan, namun merupakan titik temu berbagai kepentingan sehingga kementerian/lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif.
“Selain itu, naskah akademik RPP sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan,” pungkasnya.