BIMATA.ID, Jakarta- Panggung politik menuju Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 kian panas. Bakal calon presiden (capres) Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto, jadi sorotan.
Baru-baru ini, Prabowo diterpa isu tak sedap terkait hubungannya dengan seorang wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju.
BACA JUGA: Sampaikan Pesan Prabowo, Fauzy Baadilla: Kita Tetap Sebarkan Kebaikan dan Wujudkan Pemilu yang Damai
Bersamaan dengan itu, sosok Prabowo juga dikaitkan dengan uji materi syarat pencalonan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK). Seolah, ada upaya untuk menghentikan langkah Ketua Umum Partai Gerindra tersebut melaju ke pentas pemilihan.
Belum lama ini, beredar desas-desus Prabowo mencekik dan menampar Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Harvick Hasnul Qolbi. Menurut kabar yang viral di media sosial, peristiwa itu terjadi di Istana Kepresidenan, menjelang rapat terbatas.
Prabowo disebut kesal lantaran Kementerian Pertanian tidak mendukung salah satu program yang ditugaskan Presiden Jokowi kepadanya.
Namun, isu ini langsung dibantah Prabowo. Menteri Pertahanan itu mengaku, dirinya bahkan belum bertemu dengan Harvick.
“Saya ketemu saja belum sama wamennya (wakil menteri),” ujar Prabowo sambil tertawa kecil, usai mengunjungi pabrik alat utama sistem persenjataan (alutsista) PT Pindad di Jawa Barat, Selasa (19/9/2023).
“Enggak pernah itu. Selalu (dengan) menterinya (Menteri Pertanian) saya,” tambahnya.
Prabowo menegaskan bantahannya ketika hadir dalam acara dialog “3 Bacapres Bicara Gagasan” di Graha Sabha Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa (19/9/2023) malam. Ia mengaku kaget atas munculnya rumor tersebut.
BACA JUGA: Beri Respon Soal Duet Prabowo – Ganjar, Puan: Kita Liat Nanti
“Saya juga kaget, jelas itu tidak benar ya. Tidak pernah ada rapat seperti itu,” katanya Disebutkan oleh Prabowo, dirinya jarang berhubungan dengan Wakil Menteri Pertanian, meski sesekali bertemu.
Ia mengaku lebih banyak berkomunikasi dengan Menteri Pertanian Yasin Limpo. Prabowo pun menyebut dirinya tak sekali ini saja difitnah. Sebelumnya, ia pernah mendapat fitnah yang lebih kejam ketimbang isu menampar dan mencekik Wamentan.
“Dulu difitnah lebih gawat lagi. Mau kudeta lah, mau ini lah, mau itu. Sedikit-sedikit mau berontak. Enggak tahu (mungkin) muka saya, muka kudeta kali ya,” katanya.
Kendati demikian, Prabowo mengaku tak akan mencari tahu pihak yang menyebarkan rumor ini. Ia hanya berharap, penyebar fitnah segera bertobat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Pada saat bersamaan, di MK, bergulir proses uji materi terhadap aturan tentang syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
BACA JUGA: Pembahasan Cawapres Prabowo, PAN: Tunggu Deklarasi Demokrat
Para pemohon yang merupakan warga sipil bernama Rio Saputro asal Jakarta Timur, Wiwit Ariyanto asal Bekasi, dan Rahayu Fatika Sari asal Bogor, meminta MK melarang pelanggar hak asasi manusia (HAM) untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Mereka mempersoalkan Pasal 169 huruf d UU Pemilu yang berbunyi,
“Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: (d) tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi atau tindak pidana berat lainnya”.
Dalam petitum gugatan, para pemohon meminta supaya aturan itu diubah menjadi “(d) tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya”.
BACA JUGA: Catat Keinginan Masyarakat, Prabowo Akan Diskusi Dengan Pakar
Para pemohon beralasan, Presiden Joko Widodo telah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya adalah Kerusuhan Mei 1998 yang berkaitan dengan penculikan aktivis Reformasi.
Pemohon juga mengutip Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden apabila “terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden”.
“Maka seharusnya ada upaya pencegahan dan/atau antisipasi yang diatur dalam persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dalam UU Pemilu,” ucap pemohon.
Oleh publik, uji materi ini dikaitkan dengan sosok Prabowo yang kerap diterpa isu penculikan aktivis HAM. Gerindra sendiri menilai gugatan ini aneh.
BACA JUGA: Relawan Emak-Emak Cinta Prabowo Resmi Deklarasi Dukung Prabowo di Pilpres 2024
“Ini aneh, petitum yang sangat aneh, petitum soal UU kok mencantumkan hal yang bersifat khusus. Ini orang enggak ngerti hukum jangan-jangan yang mengajukan permohonan ini,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (20/09/2023).
Menurut Habiburokhman, Pasal 6 UUD 1945 jelas mengatur syarat substansial seorang capres dan calon wakil presiden. Konstitusi hanya menyebutkan bahwa capres-cawapres wajib berkelakuan baik dan tidak memberi pengaturan secara spesifik.
“Secara umum siapa pun yang daftar sebagai capres, ada persyaratan tidak pernah melakukan perbuatan tercela,” ucap dia.
BACA JUGA: Catat Keinginan Masyarakat, Prabowo Akan Diskusi Dengan Pakar