BIMATA.ID, Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Rahmad Handoyo mengatakan, jangan ada lagi pasien pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mendapat penolakan perawatan. Memberikan perawatan bagi masyarakat sepatutnya sudah menjadi pekerjaan rumah dari Pemerintah yang melayani jalur BPJS.
“Yang paling utama saat ini adalah, bagaimana fokus pada pelayanan BPJS. Kita ketahui bersama, masih ada rumah sakit yang bandel dengan menolak pasien BPJS Kesehatan. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang harus ditingkatkan,” kata Rahmad Handoyo melalui keterangannya, Selasa (01/08/2023).
Kemudian, Rahmad menerangkan, ada keresahan di masyarakat terkait kuota pasien BPJS Kesehatan di tiap rumah sakit yang memungkinkan adanya penolakan bagi pasien. Menurutnya, hal itu merupakan langkah diskriminatif terhadap pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan.
“Tidak adanya standarisasi membuat pasien terdiskriminasi karena semestinya tidak boleh ada penolakan pelayan bagi seluruh warga indonesia baik mereka yang mengakses pelayanan menggunakan BPJS, asuransi maupun mandiri,” jelasnya.
Baca Juga : Prabowo Terima Kunjungan Menhan Arab Saudi, Perkuat Kerja Sama Industri Pertahanan
Dari catatan Ombudsman Republik Indonesia, terdapat 700 pengaduan pada 2021-2022 terkait pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN. Sebagian laporan tersebut adalah soal penolakan terkait kuota pelayanan kesehatan pada peserta BPJS Kesehatan.
Oleh karena itu, anggota Komisi IX DPR RI ini pun berharap, tidak ada lagi rumah sakit yang bermitra dengan BPJS Kesehatan menolak memberikan layanan bagi peserta jaminan sosial tersebut. Ini pun sejalan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Kesehatan adalah hak bagi masyarakat yang harus dipenuhi pelayanannya oleh negara. Jadi pemerintah harus memberi penekanan kepada setiap rumah sakit, bahwa harus memberikan layanan terbaik bagi setiap pasien,” ujarnya.
Rahmad menegaskan, apabila ada rumah sakit yang membandel, BPJS diminta memberi sanksi tegas agar menjadi pembelajaran bagi yang lainnya. Dengan begitu, akan tercipta transformasi pelayanan kesehatan yang baik, ramah dan nyaman bagi setiap pasien BPJS Kesehatan.
“Kalau perlu sanksinya pemutusan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Tindakan tegas ini akan menimbulkan persepsi positif di masyarakat terkait transformasi pelayanan kesehatan,” imbuhnya.
Cek Juga : Tiba di Jakarta, Prabowo Jemput Langsung Pangeran Khalid bin Salman dari Arab Saudi
Selain itu, Rahmad juga mengingatkan, bahwa harus ada peningkatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan terkait wacana soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2025 saat ini fokus utama bukan soal iuran namun peningkatan pelayanan kesehatan harus menjadi prioritas.
“Yang utama berpegang dari keterangan pemerintah bahwa sampai 2024 tidak ada kenaikan. Yang menjadi fokus saat ini adalah bagaimana fokus pelayanan BPJS. Di rumah sakit-rumah sakit harus terus ditingkatkan,” tuturnya.
“Peserta BPJS Kesehatan harus menjadi tuan rumah yang baik, rumah sakit yang tidak menaati kerja sama harus ditertibkan, serta tidak ada alasan lagi RS menolak pasien,” tambahnya.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperkirakan iuran BPJS Kesehatan berpotensi naik pada Juli 2025, menyusul perubahan tarif standar layanan kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023.
Permenkes ini mengatur standar tarif terbaru yang menggantikan standar tarif pelayanan kesehatan lama baik untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang diatur dalam Permenkes Nomor 52 Tahun 2016.
“Soal ancaman adanya minus BPJS perlu dipikirkan oleh manajemen dengan melakukan terobosan yang memungkinkan agar terhindar dari defisit yang besar,” ucapnya.
Simak Juga : Usai Bertemu Bahas Kerja Sama Pertahanan, Prabowo Antar Pangeran Khalid Kembali ke Bandara Halim
Dari analisa DJSN, surplus aset neto BPJS Kesehatan hingga 31 Desember 2023 yang sebesar Rp 56,5 triliun bisa berbalik negatif pada 2025. Defisit ini akan muncul pada Agustus-September 2025, sekitar Rp11 triliun.
Selain itu, juga ada hitungan utilitas atau pemanfaatan BPJS Kesehatan yang meningkat hingga 2023, ditambah dengan adanya perluasan kontrak antara BPJS Kesehatan dengan pihak rumah sakit dari 2.963 pada 2022 menjadi 3.083 pada 2024.
“Potensi kenaikan tarif iuran itu belum mempertimbangkan rencana kebijakan implementasi single tarif iuran atau kelas rawat inap standar (KRIS) yang menghapus sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan,” pungkasnya.