BIMATA.ID, Jakarta – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja menjadi narasumber di kegiatan Focus Group Discussion Perumusan Ancaman Non-Militer Antar Kementerian/Lembaga di Jakarta, Senin (26/06/2023) kemarin.
Pada kegiatan tersebut, Rahmat Bagja mengantisipasi paduan antara politisasi identitas, disinformasi dan ujaran kebencian yang memungkinkan menjadi ancaman nonmiliter di Pemilu 2024. Ia menilai, bahwa ancaman non-militer pada tiga aspek tersebut di penyelenggaraan pemilu, mengacu pada risiko dan gangguan yang bukan berasal dari sektor militer, namun dapat membahayakan integritas dan keberhasilan proses pemilihan umum.
Bagja mengungkapkan, ia melihat pada pemilihan sebelumnya dimana politisasi identitas, disinformasi dan ujaran kebencian menguat melalui media sosial.
“Ketika Pilkada tahun 2017, media sosial memuat secara berlebihan terkait isu politik identitas yang kemudian berlanjut pada Pemilu 2019. Bahkan ada kecenderungan juga mengadu teman TNI dan Polri pada titik itu,” jelasnya, dikutip dari website resmi Bawaslu RI, Selasa (27/06/2023).
Baca Juga : Ini Alasan Prabowo Tak Hadir Saat Peringatan Bulan Bung Karno di GBK
Bagja menjelaskan, politisasi identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan, dan juga kepentingan-kepentingan lokal yang direpresentasikan oleh elit melalui artikulasi politik mereka. Sedangkan disinformasi, merujuk pada penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau disengaja untuk menipu atau mempengaruhi opini publik. Sedangkan ujaran kebencian, merujuk pada komunikasi yang menyebarkan, mendorong, atau memperkuat sentimen atau sikap permusuhan, kebencian, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, atau karakteristik tertentu lainnya.
Tiga hal tersebut disampaikan Bagja sangat mungkin untuk berpadu dan menyebabkan permasalahan di Pemilu 2024. Hal ini dia soroti sebab menurutnya, ujaran kebencian yang dibarengi dengan disinformasi dan ujaran kebencian, maka akan mempengaruhi kondisi masyarakat terhadap situasi kenyamanan Pemilu 2024. Meski demikian, dia tidak memungkiri bahwa isu ini sudah dimulai saat ini jelang Pemilu 2024.
“Sekarang sudah dimulai, misalnya dulu 2017 anti terhadap ras tertentu, itu menguat di media sosial. Sekarang kalau kita lihat, sekarang muncul lagi di media sosial dan juga muncul ujaran kebencian. Sekarang sudah mulai, menyerang beberapa peserta pemilu. Beberapa kali kita baca Twitternya walau kemudian kita baca bahasanya masih lumayan soft, tapi sudah mulai menyerang lawan-lawan politik,” ungkapnya.
Simak Juga : Kompak Pakai Batik, Prabowo Pose Finger Heart Bareng Pewarta Istana Usai Bertemu Jokowi
Menyadari pentingnya hal tersebut untuk diperhatikan, Bagja menyatakan Bawaslu telah menyiapkan beberapa strategi untuk menangkal tiga aspek tersebut. Seperti penguatan regulasi dan hukum terkait peningkatan kapasitas SDM pengawas, penegakan hukum dan sanksi, kampanye edukasi dan Sosialisasi, dan kerjasama di ruang digital.
“Kemudian IKP (Indeks Kerawanan Pemilu) itu bertujuan sebagai alat pemetaan potensi dan deteksi dini agar politisasi identitas dapat direduksi. Dalam konteks IKP, Bawaslu melakukan penilaian terhadap berbagai hal yang berkaitan apa saja yang kemudian bisa menjadi titik rawan pemilu terutama yang berkaitan dengan isu sosial politik,” tutupnya.