BIMATA.ID, Jakarta- Satu dari empat bayi di Indonesia mengalami masalah serius yang sebenarnya bisa dicegah: kurang tinggi dari standar minimal, yang dikenal sebagai stunting.
Untuk mencegah stunting, Kementerian Kesehatan baru-baru ini mengeluarkan kampanye #CegahStuntingItuPenting dengan lima langkah utama. Dua di antaranya adalah mencukupi konsumsi protein hewani bagi anak usia 6 bulan ke atas dan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.
BACA JUGA: Kunjungi Prabowo, Danjen Kopassus Minta Saran Agar Kopassus Tetap Jadi Kebanggaan NKRI
Namun demikian, produsen dan pemasaran susu formula (sufor) yang agresif dapat mengancam keberhasilan kedua langkah ini, mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan sufor tercepat di dunia.
Data terbaru mengamini bahwa sufor kerap dikonsumsi oleh anak berusia di bawah tiga tahun (batita). Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di kalangan anak usia 6–23 bulan yang sudah tidak mengkonsumsi ASI menunjukkan 72,9 persen di antaranya mengkonsumsi susu formula.
Jika pemerintah tidak membatasi ketat pemasaran susu formula, target penurunan stunting dari 21,6 persen pada 2022 ke 14 persen tahun depan jelas sulit dicapai.
BACA JUGA: Presiden Dunia Melayu Dunia Islam: Prabowo Banyak Bantu Orang Miskin
Meski sufor adalah susu yang diformulasikan secara khusus dan diberikan dengan indikasi tertentu, kandungan sufor tidak bisa mengalahkan ASI, terutama untuk mendukung kekebalan tubuh anak.
Anak dengan kekebalan tubuh yang kurang optimal rentan sakit, sehingga mayoritas zat gizi yang dikonsumsi digunakan untuk melawan penyakit, bukan untuk tumbuh. Karena itulah, ASI eksklusif akan selalu menjadi salah satu langkah terbaik untuk mencegah stunting.
Namun demikian, penggunaan sufor pada periode anak di bawah tiga tahun (12–36 bulan) yang dapat berdampak pada pemberian makanan bayi dan anak (PMBA) kerap luput diperhatikan.
BACA JUGA: Prabowo Terima Kunjungan Erick Thohir: Selamat, Luar Biasa
Sufor kadang menjadi alternatif ketika batita tidak mau makan. Padahal, periode ini penting untuk membuat anak terbiasa dengan makanan tertentu (familiarization) dari segi rasa, tekstur, dan tampilan.
Sayangnya, 71 persen dari sufor batita tergolong tinggi gula berdasarkan sistem Badan Standar Makanan Inggris (UK FSA). Selain itu, rata-rata kadar gula pada sufor batita mencapai 7,3 gram per 100 ml, setara dengan kadar gula pada minuman berpemanis.
Hal ini berisiko membangun preferensi anak terhadap rasa manis pada periode sensitif di awal kehidupan. Akhirnya, hal ini membuat orangtua bergantung pada makanan dan minuman berpemanis sebagai pilihan yang lebih disukai anak.
BACA JUGA: Prabowo Sarungan Nonton Final SEA Games Timnas vs Thailand, Netizen: 2024 Harus Jadi Presiden
Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa semakin sering dan semakin dini anak mengkonsumsi kudapan, termasuk minuman berpemanis, berhubungan dengan kejadian stunting yang lebih tinggi.
Makanan atau minuman manis pada masa balita ini dapat menggantikan makanan padat gizi yang dibutuhkan untuk mencegah stunting, terutama pada periode rentan pada usia 6 bulan–2 tahun. Usia ini merupakan saat prevalensi stunting meningkat pesat akibat pola makan anak tidak bisa mengimbangi kebutuhan zat gizi untuk tumbuh.
Maraknya pemasaran sufor tergambar dari pesatnya penjualan produk tersebut di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.
BACA JUGA: Prabowo: Politik Rukun dan Stabil Jadi Kunci Lahirnya Kebijakan Pro Rakyat
Berdasarkan data penjualan sufor pada 2005–2019, Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan sufor terpesat, terutama pada kategori balita.
Sebuah data riset menunjukkan penjualan sufor pada 2011 mencapai Rp 12,3 triliun dan meningkat hingga Rp24 triliun pada 2016, serta diprediksi naik 23 persen pada 2021. Data terbaru menunjukkan proporsi belanja susu formula oleh keluarga di Indonesia dapat mencapai hampir 13 persen dari upah per bulan.
Sementara itu, survei terbaru di kota Bandung menemukan bahwa 1 dari 2 batita mengkonsumsi sufor pada hari sebelum survei. Temuan serupa didapatkan pada survei di Jakarta yang menunjukkan bahwa 1 dari 3 batita mengkonsumsi sufor hingga lebih dari 7 kali per minggu.
BACA JUGA: Prabowo Streaming Timnas U-22 Pakai Ponsel Sambil Sarungan, Netizen Banjiri Komentar Lucu
Penjualan sufor, khususnya pada periode balita, telah menjadi sumber pendapatan bagi produsen sufor. Jika tidak diawasi secara serius, maka target untuk mendukung gizi anak yang optimal akan terhambat.
Data terbaru menunjukkan empat dari lima provinsi dengan pembelian sufor tertinggi adalah provinsi dengan prevalensi stunting di atas 30 persen. Ini mengindikasikan bahwa konsumsi sufor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat.
BACA JUGA: Erick Thohir: Prabowo Menteri Pertama yang Ucapkan Selamat Atas Prestasi Timnas
Karena itu, untuk mengejar target stunting sebesar 14 persen pada 2024, pemerintah harus serius mencari celah pencegahan stunting yang belum tergarap maksimal, salah satunya adalah pemasaran sufor.