BIMATA.ID, Purwakarta – Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Dedi Mulyadi meminta kepada pemerintah untuk tidak terburu-buru melakukan impor beras jika kondisi gabah di petani masih tersedia.
“Pemerintah jangan buru-buru impor manakala gabah di petani masih tersedia. Jadi jangan sampai terjadi gabah yang tersedia tidak diserap, namun malah lebih memilih impor,” kata Dedi, dikutip dari antaranews, Kamis (30/03/2023).
Dia menyampaikan, karena pada saat ini pemerintah kembali membuka wacana untuk impor beras sebanyak 2 juta ton, karena serapan gabah di petani belum bisa memenuhi stok cadangan beras pemerintah.
Baca Juga : Kinerja, Visi dan Loyalitas Prabowo Jadi Alasan Menang di Jatim dan Melesat di Jateng
Menurut Dedi, untuk melakukan impor jangan buru-buru dilakukan, apalagi saat gabah masih tersedia di petani, karena di antara tugas negara ialah melindungi petani dan menyediakan ketersediaan pangan untuk masyarakat.
Kedua tugas negara tersebut, tutur Dedi, bisa berjalan beriringan jika seluruh lembaga di pemerintahan bekerja sama komprehensif dan tidak saling ego, seperti Kementerian Pertanian fokus meningkatkan produktivitas dan Kementerian Perdagangan bertugas mengatur regulasi ketersediaan.
“Di situlah harus dibangun antara yang produksi dan mengatur regulasi, ketersediaan harus berjalan bersama. Jangan sampai yang satu ingin meningkatkan produksi, namun yang satu ingin mencari jalan pintas keuntungan besar tanpa memperdulikan nasib petani,” tuturnya.
Dedi menilai, pada saat ini petani kebingungan karena pengusaha atau tengkulak yang biasa menyerap gabah mereka mengalami dilema. Mereka takut kalau menyerap banyak gabah petani, justru malah pemerintah melakukan impor beras.
“Sehingga ketika dia membeli dengan harga cukup tinggi, begitu impor harus jual dengan harga rendah. Kondisi psikologis ini harus diselesaikan agar gabah petani terserap dan penyerapnya punya kepastian,” ujarnya.
Simak Juga : Hasil Survei Surabaya Research Syndicate : Prabowo Melesat di Jatim dan Jateng
Sementara itu, Dedi menyoroti pemerintah dalam hal ini BPS yang selalu membuat “branding” bahwa petani padi harus terus miskin.
Dia mengatakan, pada saat panen tinggi harga dibuat murah dan saat panen raya justru muncul kebijakan impor.