BIMATA.ID JAKARTA Adanya tindakan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam kasus perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Grup. Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) memaksakan diri memproses permasalahan perkebunan PT Duta Palma Grup secara pidana korupsi
Anggota Komisi III DPR RI Partai Demokrat, Hinca Panjaitan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak segera memanggil Jaksa Agung ST Burhanuddin
Hinca menjelaskan pada Undang-Undang Cipta Kerja sesuai Pasal 110A dan 110B secara tegas menyatakan, memberi waktu selama 3 tahun guna menyelesaikan perizinannya. Bagi pelaku pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif.
“Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja kan sudah jelas tidak ada tindak pidananya. Namun Jaksa Agung tetap memaksakan kehendaknya dengan tindak pidana korupsi,” jelas Hinca di salah satu resto di Senayan, Selasa (14/2/2023).
Kasus Duta Palma Group memasuki sidang pledoi, setelah jaksa menuntut penjara seumur hidup terhadap Surya Darmadi, bos grup perusahaan sawit asal Indragiri Hulu tersebut.
Penilaian Kejagung melakukan diving disampaikan Hinca Panjaitan, anggota Komisi III DPR RI. Hinca menggarisbawahi diabaikannya UU Ciptaker atau Omnibus Law yang dibuat untuk mengatasi carut marut aturan sektoral yang tumpang tindih.
Hinca Panjaitan mengungkapkan ia menjadi salah satu anggota dewan yang menyusun UU Ciptaker waktu itu.
“Ruh UU Ciptaker itu untuk mengatasi berbagai masalah akibat tumpang tindih aturan. Ini yang harus dipahami Kejagung,” jelas Hinca Panjaitan.
Dalam kasus perkebunan sawit seperti dialami Duta Palma Group, Hinca menyatakan adalah dosa bersama bangsa Indonesia. Duta Palma misalnya menjalankan perkebunan sawit berdasarkan Izin Lokasi (Ilok) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang mengacu pada UU Kehutanan dan Perda.
“Kita akui memang terjadi carut marut aturan antar sektor. Dan ini adalah dosa bersama bangsa Indonesia. Ini yang kemudian diselesaikan dengan UU Ciptaker,” jelas Hinca Panjaitan.
Dalam UU Ciptaker, kesalahan administrasi pidana akibat tumpang tindih, aturan diberi kesempatan untuk diselesaikan dalam waktu 3 tahun mulai 2020-November 2023.
“Jadi kesalahan diselesaikan dengan denda, karena memang awalnya berasal dari tumpang tindih aturan. Ini sudah menjadi kesepakatan bersama,” terang anggota Komisi III DPR RI.
Yang terjadi kini Kejagung mengambil posisi yang berbeda. Kasus seperti Duta Palma berdasarkan UU Ciptaker, semestinya diselesaikan dengan denda hingga November 2023.
“Kalau setelah November 2023, perusahaan sawit mbalelo tak bayar denda baru boleh dipidanakan,” jelas Hinca.
“Ini yang saya sebut Kejagung melakukan diving, karena mengambil jalan sendiri yang berbeda dari UU Ciptaker,” sebut Hinca.
Hinca khawatir tuntutan penjara seumur hidup pada Surya Darmadi, bos Duta Palma Group tak dianggap oleh majelis hakim. Ia mencontohkan dalam kasus minyak goreng, Kejagung menuntut sejumlah pihak dengan penjara lebih dari 10 tahun.
“Namun hakim memutus kurang dari 1 tahun, karena tuntutan tidak terbukti,” imbuh Hinca.
Hinca mengatakan kasus seperti Duta Palma dialami 1.189 kegiatan usaha sawit. Jika semua diperlakukan seperti Duta Palma Group, akan terjadi kekacuan dalam perekonomian nasional.
“Niatnya membangun perkebunan sawit untuk memperbaiki negara dengan adanya pidana PT Duta Palma, akan merugikan negara. Berdampak ekonomi buruk,” papar Hinca.
Sedangkan konflik antara Kementerian ATR BPN dan Kementerian LH terkait luas tanah dan hutan, masalah yang harus diterapkan dilahan perkebunan sawit.
“Karena hukum harus pasti sesuai UU Omnibuslaw atau UU Ciptakerja pasal 110A dan 110B, maka harus dibuat 1 peta nasional,” jelas Hinca.
Untuk diketahui, proses persidangan terhadap Surya Darmadi, pemilik Duta Palma Grup di Pengadilan Jakarta Pusat sudah memasuki agenda pledoi Rabu 15 Februari 2023. Dalam agenda vonis hakim akan dibacakan Rabu 22 Februari 2023.
(W2)