Bimata

KPK Duga Tersangka AKBP Bambang Kayun Terima Suap Rp 56 Miliar

BIMATA.ID, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI) menduga, tersangka AKBP Bambang Kayun (BK) menerima suap dan gratifikasi dengan nilai total Rp 56 miliar dan satu unit mobil mewah.

Bambang merupakan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM).

“Bermula dari adanya pelaporan ke Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT ACM, dengan pihak terlapor ES (Emilya Said) dan HW (Herwansyah),” ucap Ketua KPK RI, Firli Bahuri, saat membacakan Konstruksi Perkara BK dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK RI, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (03/01/2022).

Atas pelaporan tersebut, ES dan HW melalui rekomendasi salah seorang kerabatnya kemudian diperkenalkan dengan BK, yang saat itu dimutasi sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri untuk berkonsultasi.

“Sebagai tindak lanjutnya, sekitar Mei 2016 bertempat di salah satu hotel di Jakarta dilakukan pertemuan antara ES dan HW dengan tersangka BK,” imbuhnya.

Dari kasus yang disampaikan ES dan HW tersebut, BK diduga menyatakan siap membantu dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang dan barang.

“Tersangka BK lalu memberikan saran, di antaranya untuk mengajukan surat permohonan perlindungan hukum dan keadilan terkait adanya penyimpangan penanganan perkara yang ditujukan kepada Kepala Divisi Hukum Mabes Polri,” terang Firli.

Menindaklanjuti permohonan itu, Firli menjelaskan, BK lalu ditunjuk sebagai salah satu personel untuk memverifikasi, termasuk meminta klarifikasi kepada Bareskrim Polri.

“Sekitar Oktober 2016, dilakukan rapat pembahasan terkait perlindungan hukum atas nama ES dan HW di lingkup Divisi Hukum Mabes Polri, dan tersangka BK kemudian ditugaskan untuk menyusun kesimpulan hasil rapat yang pada pokoknya menyatakan adanya penyimpangan penerapan hukum, termasuk kesalahan dalam proses penyidikan,” urainya.

Dalam perjalanan kasus tersebut, ES dan HW kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Terkait penetapan status tersangka itu atas saran lanjutan dari BK, maka ES dan HW mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus).

“Dengan saran tersebut, tersangka BK menerima uang sekitar Rp 5 miliar dari ES dan HW, dengan teknis pemberiannya melalui transfer bank menggunakan rekening orang kepercayaannya,” sambung Firli.

Selama proses pengajuan praperadilan, KPK RI menduga, BK membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan. Sehingga, hakim dalam putusannya menyatakan mengabulkan dan status penetapan tersangka tidak sah.

“Tersangka BK sekitar bulan Desember 2016, diduga menerima satu unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri oleh tersangka BK,” tukasnya.

Sekitar April 2021, KPK RI menyebut, ES dan HW kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri dalam perkara yang sama.

“Diduga tersangka BK kembali menerima uang hingga berjumlah Rp 1 miliar dari ES dan HW untuk membantu pengurusan perkara dimaksud. Sehingga, keduanya tidak kooperatif selama proses penyidikan hingga akhirnya ES dan HW melarikan diri dan masuk dalam DPO penyidik Bareskrim Mabes Polri,” jelas Firli.

Tidak hanya itu, KPK RI juga menduga, BK menerima uang secara bertahap yang diduga sebagai gratifikasi dan berhubungan dengan jabatannya dari beberapa pihak yang jumlah seluruhnya sekitar Rp 50 miliar. Dengan demikian, total uang yang diterima BK senilai Rp 56 miliar.

“Tim Penyidik KPK terus mengembangkan lebih lanjut informasi dan data terkait dengan perkara ini,” ungkapnya.

[MBN]

Exit mobile version