Pengusaha Salahkan Pemerintah Terkait Ekspor Sawit yang Melempem
BIMATA.ID, Jakarta- Ekspor dan produksi minyak sawit Indonesia disebut mengalami tren penurunan dalam beberapa waktu belakangan. Hal ini dinilai merupakan imbas dari inkonsistensi kebijakan pemerintah. Gabung Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaporkan dalam periode 2020-2022 ekspor justru menurun rata-rata 7,66 persen.
Ketua Bidang Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan mengungkapkan penurunan tak hanya terjadi pada ekspor minyak sawit, namun juga produksi minyak sawit. Dia mengatakan produksi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tren penurunan demikian juga dengan ekspor. Menurutnya, kebijakan pemerintah memberikan andil dalam penurunan tersebut.
“Tahun 2022 produksi diperkirakan turun dibanding 2021 juga dengan ekspor. Ini terkait dengan adanya inkonsistensi kebijakan, terkait dengan pelarangan misalnya sangat berpengaruh pada performance 2022,” jelas dalam webinar bertajuk “Optimalisasi Ekspor Sawit Sebagai Antisipasi Dampak Resesi”, Rabu (14/12/2022).
Dirinya mengatakan, sebenarnya permintaan minyak sawit Indonesia periode 2005-2015 stabil sekitar 11 persen. Kemudian pada periode 2016-2020 turun menjadi 8 persen dan dua tahun ini yakni 2020-2022 justru tumbuh negatif -2,54 persen. Menurut dia, untuk konsumsi dalam negeri mengalami peningkatan karena adanya program biofuel.
Konsumsi minyak sawit dalam negeri tumbuh 11,7 persen pada periode 2005-2010. Kemudian pada periode 2010-2015 sempat turun menjadi 9,25 persen dan naik lagi sebesar 18 persen pada 2015-2020. Untuk periode 2020-2022 ini konsumsi dalam negeri turun 7,5 persen.
“Konsumsi ada peningkatan karena ada program mandatori biofuel. Tapi untuk ekspor trennya menurun,” kata Fadhil.
Selain itu pertumbuhan ekspor dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peran penurunan juga disebabkan karena pandemi Covid-19. Pada semester 1 Tahun 2022 ekspor mengalami destruksi dan turun tajam akibat kebijakan restriksi dan larangan ekspor. Selain itu juga penurunan daya saing dengan minyak nabati lainnya turut memberikan andil.
Fadhil menjelaskan, pada dasarnya permintaan terhadap minyak sawit memiliki prospek yang masih baik. Di mana pertumbuhan konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi. Hanya saja masalah yang ditemui ialah produksi dalam negeri yang sedang mengalami tren penurunan.
Adanya perang Rusia-Ukraina membuat terjadinya kekurangan pasokan minyak nabati dunia. Pasalnya dua negara ini menjadi penghasil utama minyak rapeseed dan bunga matahari. Kondisi ini memberikan peluang kepada minyak sawit untuk mengambil pasar yang kekurangan tersebut.
“Ini kesempatan bagi kita untuk kita mengisi kekurangan tersebut. Tapi persoalannya lagi-lagi apakah kita memiliki kemampuan untuk bisa merespon tersebut, karena kita juga mengalami tren menurun dalam hal produksi,”pungkas Fadhil.
(ZBP)