BIMATA.ID, Jakarta – Pengamat politik, Jajat Nurjaman menyampaikan, pertemuan tiga tokoh besar, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), dan Surya Paloh, diprediksi akan semakin memanaskan suhu politik jelang pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Tidak hanya itu, pertemuan tersebut juga dinilai bakal mengancam posisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang saat ini menjadi partai penguasa di Indonesia.
Jajat mengemukakan, secara history SBY dan JK memiliki kenangan manis di pemilihan presiden (Pilpres) 2004 lalu. Pada saat itu, duet SBY-JK berhasil mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dengan perolehan suara cukup telak.
“Wajar jika ada pihak yang menyatakan demikian. Namun, ada perbedaan mendasar dari persaingan kedua kelompok ini mengenai gaya metode kampanye masing-masing. Dari kedua kelompok ini, Pak SBY dikenal dengan gaya kampanye yang memanfaatkan momen sebagai pihak terdzolimi. Sementara, PDIP berhasil berkuasa dua periode dengan gaya merakyatnya,” ucapnya, dalam keterangan tertulis, Rabu (21/09/2022).
“Akan tetapi, jangan lupakan juga bahwa ada koalis Gerindra-PKB yang tokoh Capres-nya dikenal dengan gaya kampanye nasionalis,” lanjut Jajat.
Direktur Eksekutif Nurjaman Center Indonesia Demokrasi (NCID) ini menjelaskan, jika di Pilpres 2024 ada tiga pasangan calon (paslon) atau lebih, maka tentu saja akan membuat berbagai alternatif pilihan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).
Namun, komposisi dengan tiga paslon atau lebih tentu saja bakal sulit untuk memenangkan satu putaran. Sebaliknya, jika terjadi head to head di antara kelompok tersebut, maka hanya akan dapat ditentukan bilamana lolos di putaran pertama.
Oleh karena itu, meskipun SBY, JK, dan Surya Paloh bersatu, tentu kondisi saat ini berbeda. Mengingat, tokoh yang bakal diusungnya mempunyai latar belakang politik yang berbeda pula.
“Tidak ada yang istimewa dengan bersatunya tiga tokoh tersebut. Karena, pada dasarnya hanya sebatas perang politik antara mantan penguasa dan penguasa saat ini yang menginginkan kekuasaannya kembali,” imbuh Jajat.
“Justru, dalam hal ini pilihan alternatif ada di paslon yang belum pernah berkuasa. Karena, dalam catatan publik tidak mempunyai catatan buruk saat menjadi bagian dari kekuasaan,” tutupnya.
[MBN]