BIMATA.ID, Jakarta – Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, diminta untuk meninjau ulang aturan atau payung hukum terkait remisi dan pembebasan bersyarat khusus napi koruptor.
Kepala Litigasi LBH Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Gufroni menyampaikan, revisi Undang-Undang (UU) yang mengatur remisi tersebut diperlukan. Mengingat, pelaku kejahatan korupsi telah merusak perekonomian dan menggerogoti keuangan negara.
“Kita tahu, bahwa situasi saat ini memang mengalami banyak tantangan sebagai upaya-upaya penanganan korupsi itu. Dan oleh karenanya, perlu ada perbaikan terhadap aturan-aturan hukum yang saat ini melonggarkan bagi mereka yang menjalani masa hukuman semestinya 10 tahun, ternyata hanya mendapatkan sekian tahun. Kemudian, dia bisa menghirup udara bebas di luar Lembaga Pemasyarakatan,” ucapnya, Kamis (08/09/2022).
Gufroni turut prihatin atas banyaknya napi koruptor yang mendapatkan remisi dan bebas bersyarat. Pasalnya, hal itu merupakan bagian dari tragedi pemberantasan korupsi.
Apalagi sejak adanya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, pimpinan KPK RI bermasalah, hingga pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 99 Tahun 2012 tentang Pengetatan Remisi yang dicabut Mahkamah Agung (MA) RI.
“Kita ingin, bahwa tidak ada kesempatan mereka untuk mendapatkan remisi. Jadi kita tentu ingin harus diperketat, tidak sembaranga. Karena kita tahu, bahwa korupsi bagian dari extraordinary atau kejahatan luar biasa,” ungkap Gufroni.
“Jangan kemudian disamakan dengan kejahatan-kejahatan atau tindak pidana umum yang lainnya, karena kita tahu bahwa dampak korupsi yang luar biasa merusak sendi-sendi perekonomian bangsa. Sehingga, pelaku korupsi ini kemudian tidak boleh mendapatkan keringanan atau remisi,” tutupnya.
Sebelumnya, 23 narapidana korupsi bebas bersyarat pada bulan ini usai menjalani masa kurungan. Beberapa di antaranya, yakni mantan Gubernur Provinsi Banten, Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Provinsi Jambi, Zumi Zola, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Patrialis Akbar, dan mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari.
[MBN]