Bimata

Pengamat Nilai Rencana Konversi Kompor Gas ke Listrik Tidak Tepat

BIMATA.ID, Jakarta – Pemerintah Republik Indonesia (RI), berencana akan mengkonversi penggunaan kompor LPG 3 Kg ke kompor listrik. Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Nurjaman Center Indonesia Demokrasi (NCID), Jajat Nurjaman menilai, perubahan itu mengada-ngada dan tidak tepat.

Pasalnya, Pemerintah RI hanya sebatas mengejar proyek program tersebut. Sementara, infrastrukturnya tidak terlebih dahulu diutamakan. Sehingga, konversi penggunaan kompor LPG 3 Kg ke kompor listrik itu disebut bakal sia-sia dan sepatutnya ditolak.

“Pengguna Gas LPG 3 Kg ini terutama yang bersubsidi adalah masyarakat miskin, sedangkan sebarannya lebih banyak masyarakat yang tinggal jauh dari perkotaan. Sementara itu, di beberapa daerah terutama di daerah terpencil masih banyak terjadi gangguan dalam hal penggunaan listrik, seperti kasus pemadaman bergilir atau pemadaman akibat cuaca,” kata Jajat, melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (23/09/2022).

“Belum lagi, rakyat akan dipaksakan melakukan konversi peralatan masak yang biasa dipakainya saat ini. Jika program ini dipaksakan, tentu akan lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya bagi rakyat,” tandasnya.

Lebih lanjut Jajat menyampaikan, munculnya rencana konversi penggunaan kompor LPG 3 Kg ke kompor listrik setelah adanya isu wacana penghapusan pengguna listrik 450 watt. Akan tetapi, isu tersebut dibantah oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).

Jika berkaca terhadap pengalaman di era pemerintahan Presiden Jokowi, maka segala hal yang berkaitan dengan subisidi pada akhirnya akan selalu dipaksakan meskipun mendapatkan penolakan dari masyarakat.

Sebelum rencana itu melebar kemana-mana, Jajat menyarankan, alangkah baiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera mendesak Pemerintah RI untuk tidak melanjutkan program tersebut.

“Tahun depan sudah memasuki tahapan tahun politik. Sebaiknya pemerintah fokus agar di masa akhir pemerintahan ini memberikan kesan baik di masyarakat, dibanding sibuk mengutak-atik segala hal yang bersifat subsidi untuk rakyat,” ujar pengamat politik muda ini.

“Jangan sampai program seperti itu hanya dijadikan alasan untuk mengeruk tambahan pundi-pundi yang dapat menguntungkan sekelompok orang tertentu demi modal Pemilu dan Pilpres 2024. Sementara, kepentingan rakyatnya sendiri diabaikan,” tutup Jajat.

[MBN]

Exit mobile version