BIMATA.ID, Jakarta- Pengamat Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan merespon kebijakan pemerintah atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Anthony menilai, saat ini pemerintah tengah berbisnis dengan rakyatnya sendiri saat roda ekonomi belum sepenuhnya pulih.
Menurutnya, keputusan pemerintah menaikkan harga BBM ketika tren harga minyak dunia turun, praktis melukai hati masyarakat.
Terlebih lagi, ‘harga’ untuk mencabik-cabik perasaan publik tak seberapa dibanding dengan apa yang negara peroleh dari sektor-sektor lain.
“Harga pertalite yang naik Rp2.350 per liter x sisa konsumsi tahun ini anggap 10 juta KL = Rp23,5 triliun,” ujar Anthony .
“Sedangkan harga solar naik Rp1.650 per liter x sisa konsumsi 5 juta KL = Rp8,25 triliun. Inikah nilai menyakiti hati masyarakat, nilai keadilan: hanya Rp31,75 triliun?,” sambungnya.
Menurut data, per Juli 2022 kemarin, pendapatan negara melonjak usai beberapa komoditas naik, setidaknya negara mengantongi Rp519 triliun (50,3%) dari harga-harga pangan yang meroket.
Oleh karena itu, Anthony mempertanyakan di mana akal sehat pemerintah saat fenomena ‘durian runtuh’ diduga menimpa negara belakangan ini.
“Bukannya membagi rejeki ‘durian runtuh’ ini kepada masyarakat, sebagai kompensasi kenaikan harga pangan, yang ada malah menaikkan harga BBM: Sehat?” tutur Anthony Budiawan.
Belum lagi disorot sektor batu bara yang mencatat rekor baru dengan kenaikan harga signifikan.
“Ekspor 2021 naik $12 miliar, dari $14,5 miliar (2020) menjadi $26,5 miliar,” ucapnya.
Dari situ Anthony bertanya-tanya mengapa pemerintah menyentuh BBM alih-alih sektor batu bara.
“Kenapa Rp31,75 triliun, sekitar $2 miliar saja, tidak ambil dari batubara ini? Kenapa harus dari rakyat kecil? Bukankah batu bara milik rakyat juga?” katanya.
(ZBP)