BIMATA.ID, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia (RI), Mahfud MD menyampaikan, penetapan tersangka terhadap Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe murni tindakan hukum.
Dia membantah, bahwa kasus itu merupakan rekayasa politik.
“Kasus ini bukan rekayasa politik, tidak ada kaitannya dengan partai politik atau pejabat tertentu,” ujar Mahfud, dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Polhukam RI, Senin (19/09/2022).
Mahfud menyebut, penegak hukum sudah mengendus kasus korupsi Lukas Enembe sejak lama. Pun, dia pernah menyinggung kasus tersebut pada Mei 2020.
Saat itu, Mahfud mengemukakan adanya dugaan 10 korupsi besar di Provinsi Papua.
“Kasus ini masuk di dalamnya,” sebutnya.
Dia menceritakan, banyak tokoh Papua dan tokoh adat menemuinya. Hampir pada setiap pertemuan, mereka selalu menanyakan kenapa kasus korupsi tersebut seperti didiamkan oleh Pemerintah RI.
Mahfud juga menyatakan, kasus dugaan korupsi yang menjerat Lukas Enembe bukan hanya tentang gratifikasi Rp 1 miliar. Di balik itu, politikus Partai Demokrat tersebut menyimpan dan mengelola uang hingga ratusan miliar Rupiah.
“Ada laporan tentang dugaan korupsi dan ketidakwajaran dalam penyimpangan dan pengelolaan uang yang jumlahnya ratusan miliar,” imbuh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI ini.
Dia menyampaikan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memblokir sejumlah rekening Lukas Enembe. Jumlah uang dalam rekening Gubernur Provinsi Papua dua periode itu mencapai Rp 71 miliar.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, lanjut Mahfud, selama ini kesulitan memeriksa laporan keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Sehingga, selalu memberikan opini disclaimer. Hingga pada akhirnya, ditemukan fakta-fakta hukum tentang dugaan korupsi tersebut.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI telah menetapkan Lukas Enembe menjadi tersangka dugaan gratifikasi Rp 1 miliar.
Wakil Ketua KPK RI, Alexander Marwata menuturkan, gratifikasi itu hanya sebagian kecil dari kasus yang bisa dibuktikan oleh KPK RI. Dia menyatakan, kasus tersebut masih sangat mungkin berkembang.
“Jadi tidak benar hanya Rp 1 miliar,” tutur Alex.
[MBN]