BIMATA.ID, JAKARTA – Hakim agung kini makin sejahtera. Sebab, selain mendapat gaji Rp 75 jutaan per bulan, mereka akan mendapatkan honor ketok palu. Bila ditotal, dalam setahun total hakim agung akan mendapatkan honor Rp 65 miliaran.
Hitung-hitungan itu berasal dari honor ketua majelis kasasi/PK sebesar Rp 1,25 juta per perkara. Adapun anggota majelis sebesar Rp 1 juta. Berdasarkan Laporan Tahunan MA 2020, pada 2020, MA mengadili sebanyak 20.562 perkara yang telah diputus dari total perkara yang ada, yaitu 20.761 perkara.
Bila satu majelis mendapatkan honor Rp 3,25 juta, dalam setahun sedikitnya hakim agung mendapatkan Rp 65 miliar dari memutus perkara. Bila ada 50 hakim agung, tiap hakim agung mendapatkan honor ketok palu Rp 1,3 miliar per tahun.
Besaran ini tidak ditampik oleh Jubir Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro.
“Realisasi PP Nomor 82,” kata Andi Samsan Nganro.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Dalam Pasal 13 ayat 1 disebutkan:
Hakim Agung diberikan honorarium dalam hal:
- penanganan perkara pada Mahkamah Agung; dan
- pelaksanaan tugas kedinasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
“Ketentuan pemberian honorarium bagi Hakim Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) diatur dengan Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung,” demikian bunyi Pasal 13B ayat 1.
Atas honor ketok palu itu, Komisi Yudisial (KY) berharap pemerintah dapat menjelaskan kajian yang mendasari sebelum diterbitkannya PP No. 82 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Terutama dengan batu uji, apakah penambahan insentif ini berkontribusi pada kualitas penyelesaian perkara di Mahkamah Agung (MA).
“KY berharap Pemerintah dan MA telah memikirkan mekanisme pengelolaan seiring dengan perubahan dari sisi insentif ini, guna memastikan apakah kebijakan ini memang tepat sasaran,” kata jubir KY Miko Ginting dalam keterangan kepada wartawan, Jumat (16/9/2022).
Dampak dari fasilitas ini terhadap upaya pengurangan arus perkara ke MA yang sudah sejak lama menjadi persoalan mendasar dalam meningkatkan konsistensi dan kualitas putusan. Agenda pembatasan perkara yang masuk ke MA (baik pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali) dan penguatan pengadilan-pengadilan di tingkat bawah seharusnya tetap diutamakan.
“Di sisi lain, KY melihat prioritas yang tidak kalah pentingnya untuk dipecahkan oleh Pemerintah dan MA, yaitu soal tunjangan dan kesejahteraan serta fasilitas kedinasan bagi hakim-hakim di tingkat pertama,” kata Miko Ginting.
“Merekalah yang selama ini menangani beban perkara signifikan dan berhadapan langsung dengan pihak-pihak beperkara,” sambung Miko Ginting.
Begitu juga prioritas anggaran lain yang layak diutamakan sejalan dengan agenda pembaruan peradilan dan kebutuhan terhadap situasi negara terkini.
“Misalnya, dukungan anggaran yang memadai untuk peningkatan sarana dan prasarana persidangan demi mendukung efektivitas pelaksanaan sidang elektronik di masa pandemi,” pungkas Miko Ginting.
(ZM)