BIMATA.ID, Jakarta – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI), Hasyim Asy’ari mengungkapkan, politik uang dalam proses tahapan pemilihan umum (Pemilu) sulit untuk dibuktikan.
Hasyim meyakini, bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI juga merasakan situasi yang sama seperti KPU RI saat kampanye.
“Saya kira teman-teman di Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan juga merasakan situasi yang sama. Bunyi-bunyiannya banyak, tapi kemudian cari buktinya yang susah,” ungkapnya, dalam acara Rakornas Sentra Gakkumdu Dialog Interaktif yang disiarkan secara daring, Selasa (20/09/2022).
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng). Ada lebih dari 60% nama pemilih dilaporkan ke KPU atas tindakan politik uang atau uang amplop. Namun, setelah ditelusuri ternyata adalah uang untuk beli bensin yang diberikan kepada tim kampanye.
“Mau ditangkap Bawaslu, ‘eh ini tim kampanye saya mas, ini ada daftarnya’. Pertanyaannya, secara substantif melanggar gak? Ternyata aspek formilnya kan dia anggota tim kampanye. Ini yang saya maksud teman-teman penegak hukum mulai dari Bawaslu, terutama kepolisian, kejaksaan mau mengkonstruksikan fakta ini harus hati-hati,” papar Hasyim.
Contoh lainnya, lanjut Hasyim, saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Ketika itu ada yang menanyakan soal kampanye yang dilakukan pada bulan Ramadan, di mana momen tersebut lekat sekali dengan uang zakat.
Lantas si penanya bingung, apakah uang zakat yang sebetulnya biasa diberikan masuk dalam aktivitas politik uang.
“Mau bagi uang, padahal ini uang zakat, kira-kira kena pidana gak? Money politic gak? Saya katakan enggak, tapi dengan catatan uang yang dibagi sama dengan uang tahun lalu sebelum jadi calon,” imbuhnya.
Ia pun menerangkan kepada penanya itu, jikalau didapati ada perbedaan jumlah, maka masuk ke dalam politik uang.
“Ini mau dibagi langsung supaya yang menerima lihat wajahnya, masuk kategori money politic gak? Begitu zakat, kalau duitnya sama dengan tahun lalu, menurut saya bukan money politic. Beda kalau tahun lalu Rp 1,5 miliar, kemudian sekarang jadi Rp 3 miliar. Nah, baru Rp 1,5 miliar dalam rangka money politic,” kata Hasyim.
[MBN]