BIMATA.ID, Jakarta- Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyebutkan saat ini pemerintah menghadapi dua masalah sekaligus, yakni tekanan harga karena tingginya harga BBM dan membengkaknya kebutuhan pertalite dan solar karena permintaan yang naik. Said pun mendorong pemerintah mengambil 4 langkah strategis untuk mengantisipasi dampak dari dua masalah tersebut.
“Terhadap tingginya harga minyak dunia, karena sebagian besar kebutuhan minyak kita dari impor, pemerintah telah menaikkan harga BBM kita, baik yang subsidi maupun kompensasi pada 3 September 2022 lalu. Banggar DPR memberikan apresiasi atas langkah ini, sebab Banggar DPR sebenarnya sejak sebulan lalu telah mendorong agar mengubah tarif BBM,” ujar Said kepada wartawan, Kamis (08/09/2022).
Terhadap kebutuhan penambahan kuota, kata Said, pemerintah telah menambah kuota BBM bersubsidi, untuk pertalite dari semula 23 juta kiloliter menjadi 29 juta kiloliter, sedangkan untuk solar dari semula 14,9 juta kiloliter menjadi 17,4 juta kiloliter.
Konsekuensi kebijakan tersebut, tutur Said, penambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi yang semula Rp 502 triliun menjadi Rp 698 triliun. Menurut Said, asumsi itu belum memperhitungkan kenaikan harga BBM per 3 September lalu. Jika memasukkan komponen perubahan harga harga BBM per 3 September 2022 lalu, diperkirakan anggaran subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp 650 triliun.
“Atas langkah cepat pemerintah ini Banggar DPR juga memberikan apresiasi sebagai upaya pengamanan kebutuhan stok BBM, khususnya BBM bersubsidi untuk rakyat, karena hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” ungkap Said.
Meskipun demikian, Said mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan 4 hal strategis untuk mengantisipasi dampak harga BBM tinggi dan membengkaknya kebutuhan pertalite dan soal. Pertama, jika pemerintah ingin menambah besaran subsidi dan kompensasi BBM dari Rp 502 triliun (telah disetujui Banggar DPR sebelumnya) menjadi Rp 650 triliun, maka sebaiknya pemerintah menempuh kebijakan seperti tahun sebelumnya.
“Itu bisa seperti tahun sebelumnya, yakni kekurangan bayar terhadap pertamina dibiayai pada APBN 2023 setelah ada audit dari BPK. Namun Banggar DPR menyarankan ruang kekurangan bayar itu maksimal di rentang Rp 100 triliun – Rp 140 triliun dengan menyesuaikan pergeseran harga ICP (Indonesia crude price) dan kurs rupiah terhadap US Dolar,” jelas Said.
Langkah kedua adalah terus melakukan operasi pasar, sebab gap harga antara BBM bersubsidi penuh dengan yang tidak bersubsidi penuh, cukup lebar. Menurut dia, hal tersebut berpotensi mendorong para pengguna pertamax berpindah ke pertalite, meskipun pemerintah telah melakukan pembatasan para pengguna pertalite.
“Tingginya permintaan terhadap pertalite dan solar berpotensi untuk diselundupkan atau ditimbun. Dan kejadian seperti ini telah beberapa kali tertangkap oleh polisi. Oleh sebab itu pemerintah perlu memastikan distribusi dan ketersediaan pertalite dan solar di seluruh wilayah tanah air,” kata dia.
Langkah ketiga adalah memastikan tersedianya kebutuhan solar dan pertalite untuk petani, nelayan, pelaku usaha mikro, dan tukang ojek. Termasuk, kata Said, pendataan oleh Pertamina tidak mempersulit akses mereka terhadap BBM ini.
“Selain itu segerakan integrasi data pemilik kendaraan di Korlantas Polri dengan My Pertamina, sehingga warga tidak perlu melakukan input manual ke MyPertamina,” ungkap dia.
Selanjutnya, melakukan operasi dan intervensi pasar atas kenaikan beberapa kebutuhan bahan pokok rakyat karena kenaikan harga BBM. Pascakenaikan harga BBM bersubsidi, beberapa bahan pangan rakyat perlahan naik di beberapa tempat.
(ZBP)