BIMATA.ID, Jakarta- Lembaga advokasi dan kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) mengecam kekerasan aparat terhadap masyarakat saat menyampaikan pendapat di muka umum. PVRI merujuk kekerasan yang menimpa masyarakat saat protes terhadap Kemenkominfo dan mogok massal menolak penetapan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Direktur Program PVRI, Mohamad Hikari Ersada mendesak Pemerintah dan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengevaluasi penanganan demonstrasi dan menjamin penyampaian aspirasi masyarakat.
“Dalam waktu kurang dari sepekan, kita menyaksikan bagaimana penyampaian aspirasi masih lekat dengan kekerasan. Pemerintah dan kepolisian harus mengubah pendekatan penanganan protes yang represif,” ujar Hikari dalam keterangan, Rabu (03/08/2022).
Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dievaluasi pemerintah dan kepolisian dalam menangani protes publik atas sebuah kebijakan. Pertama, paradigma perihal demonstrasi harus diartikan sebagai upaya masyarakat mendorong perbaikan sektor pelayanan publik.
“Protes adalah katalis dalam mendorong perubahan sosial. Karenanya, partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan adalah keniscayaan” katanya.
Sayangnya, hak-hak berpendapat masih dibayangi ketakutan. Survei Indikator Politik Indonesia pada 11-21 Februari 2022 menyatakan, 62,9 persen masyarakat merasa takut berpendapat.
“Munculnya rasa takut dalam menyampaikan pendapat tidak lepas dari praktik represif kepolisian dalam merespon protes seperti yang terjadi di Labuan Bajo. Padahal, keberadaan kepolisian harus mengakomodasi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan rasa aman, termasuk rasa aman saat menyampaikan pendapatnya dimuka umum,”jelas Hikari.
Selanjutnya, Hikari menekankan supaya pemolisian yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus dievaluasi. Penangkapan sewenang-wenang atas beragam protes damai justru menggeser landasan awal reformasi, termasuk gagasan pemisahan Polri dengan ABRI yang ingin menghilangkan kultur militeristik di kepolisian.
“Reformasi seharusnya menjadikan masyarakat sebagai basis legitimasi Polri,” katanya.
Hikari mengungkapkan, tanggung jawab Polri bukan melindungi kekuasaan. Namun, menyeimbangkan kepentingan publik dan kepentingan Pemerintah.
“Dengan kata lain, penanganan demonstrasi harus merefleksikan nilai demokrasi seperti keadaban, kewargaan, hak asasi, konstitusionalisme dan rule of law guna mendorong ruang berpendapat yang demokratis,”pungkasnya.
(ZBP)