BIMATA.ID, Jakarta- Meski kinerja ekonomi kuartal II ini membaik, namun bila pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, maka momentum pertumbuhan bakal terganggu. Pasalnya, kenaikan harga BBM sudah pasti akan mendorong peningkatan inflasi dalam negeri, dan sekaligus melemahkan daya beli konsumen yang baru saja pulih pascaterpukul pandemi Covid-19 sejak 2020.
“Kami para pelaku usaha juga menyikapi potensi pelemahan daya beli konsumen, khususnya terkait potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (termasuk BBM subsidi) yang sewaktu-waktu bisa saja dilakukan oleh pemerintah. Hal ini sudah pasti akan mendorong tingkat inflasi dalam negeri kita, dan sekaligus pelemahan daya beli konsumen yang baru saja pulih pascapandemi Covid-19,” kata Suryadi Sasmita, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kadin Indonesia yang juga Wakil Ketua Umum Apindo, kepada Investor Daily, Minggu (21/08/2022).
Oleh karena itu, lanjut dia, kondisi ekonomi pada kuartal berikutnya jauh lebih menantang daripada periode sebelumnya.
“Untuk itu, pemerintah harus cukup responsif melihat kinerja sektor-sektor vital seperti pertanian, perdagangan, pertambangan, properti, dan manufaktur. Pemerintah harus mengusahakan stimulus-stimulus fiskal jangka pendek yang dapat menggairahkan kinerja sektor ini,” papar Suryadi.
Dengan memberikan stimulus yang efektif menjaga sektor-sektor penting yang menyerap banyak tenaga kerja tersebut, maka pertumbuhan ke depan masih bisa tertolong dengan investasi yang bisa ditingkatkan. Dalam hal ini, pemerintah juga harus mempertimbangkan adanya tren penurunan harga dan kinerja ekspor komoditas yang menjadi andalan Indonesia.
“Pada aspek arus modal masuk, secara kumulatif data realisasi investasi sepanjang periode Januari-Juni (semester I-2022) mencapai Rp 584,6 triliun atau meningkat 32,0%, dibanding periode sama tahun 2021. Pemerintah sendiri mencanangkan realisasi investasi sebanyak Rp 1.200 triliun sepanjang tahun 2022. Hal ini tergantung komitmen pemerintah untuk merealisasikan insentif bagi para investor, dan menjamin ease of doing business secara berkelanjutan, dengan memberikan kepastian investasi yang tercermin dari regulasi yang adil dan berimbang,” tandas Suryadi.
Secara moneter, Suryadi optimistis, Bank Indonesia (BI) tentu akan tetap menerapkan pendekatan konservatif dan menjaga tingkat suku bunga acuan, agar tidak menyebabkan market shock yang kontraproduktif dengan momentum pertumbuhan saat ini. BI masih menahan suku bunga acuan sebesar 3,5%, meski tingkat inflasi menguat ke level 4,94% Juli lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada kuartal II-2022, pertumbuhan ekonomi menguat ke 5,44% year on year, membaik dibanding kuartal I tahun ini 5,01%, terutama didorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan ekspor di tengah konsumsi pemerintah yang justru dikontraksi 5,24%. Sedangkan pertumbuhan pada kuartal IV-2021 sebesar 5,02%.
Untuk kinerja bulan berjalan memasuki kuartal III ini, lanjut dia, seperti dirilis Badan Kebijakan Fiskal, masih pada tren yang positif. Hal itu ditopang oleh kinerja ekspor komoditas yang masih dinamis, meski sudah mulai terlihat tren penurunan harga.
(ZBP)