BIMATA.ID, Jakarta- Ketua Komisi VIII Yandri Susanto meminta pemerintah membuat pengaturan khusus tentang mekanisme pengumpulan dan akuntabilitas penyelenggaran bagi lembaga-lembaga filantropi atau lembaga pengumpul dana umat.
Hal tersebut disampaikan Yandri merespons adanya dugaan penyelewengan dana donasi masyarakat oleh Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
“Sangat perlu ada aturan jelas pertanggungjawaban publik, karena mereka menghimpun dana masyarakat, perlu ada standar audit dan lain-lain, sehingga tidak disalahgunakan,” ujar Yandri, Senin, (04/07/2022).
Menurut Yandri, pemantauan lembaga pengelolaan dana bantuan masyarakat ini berada di bawah Kementerian Sosial.
“Jadi, Kemensos dan kementerian/lembaga terkait perlu membuat aturan yang lebih detail lagi, termasuk sanksi,” tuturnya.
Aturan-aturan yang jelas berikut dengan sanksi tersebut dinilai penting untuk menutup peluang terjadinya moral hazard dalam pengumpulan donasi publik.
Selama ini, pengumpulan dana umat hanya diatur lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dua regulasi lawas itu hanya mengatur sistem birokrasi perizinan. Belum ada aturan soal akuntabilitas dan sanksi jika terjadi kecurangan dalam penggunaan dana sumbangan masyarakat
Selain itu, anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB, Luqman Hakim berharap kasus ACT ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyempurnakan regulasi-regulasi yang mengatur lembaga-lembaga filantropi.
“Sehingga, ke depan, tidak mudah bagi pihak-pihak mengumpulkan dana masyarakat atas nama bencana dan kemanusiaan tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas,” ujar Ketua PP GP Ansor.
Isu penyelewengan dana oleh ACT tersebut berhembus melalui laporan Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022. Dalam laporan berjudul Kantong Bocor Dana Umat, Tempo menyajikan pelbagai tulisan hingga informasi terkait jumlah dana yang mereka kumpulkan, pengelolaannya hingga kebocoran di sana.
Dana ratusan miliar tersebut digunakan untuk berbagai program. Mulai dari membantu korban bencana alam hingga pembangunan sekolah atau pun tempat ibadah. Akan tetapi pengelolaan dana ratusan miliar tersebut juga diduga bermasalah. Mantan Presiden ACT, Ahyudin, disebut terseret dalam masalah penyelewengan dana masyarakat tersebut.
Menurut laporan yang diterima, Ahyudin diduga menggunakan dana lembaganya untuk kepentingan pribadi. Mulai dari membeli rumah dan perabotannya hingga transfer bernilai belasan miliar ke keluarganya.
Ahyudin juga disebut memberikan dirinya gaji jumbo yang mencapai Rp 250 juta. Selain itu, berbagai fasilitas mewah juga sempat dinikmati oleh pria berusia 65 tahun itu.
Dirinya membantah telah menyelewengkan dana lembaganya itu. “Kalau saya tidak punya uang, boleh dong saya pinjam ke lembaga,” katanya.
“Saat ini saya terlilit cicilan rumah, cicilan mobil, bahkan biaya sekolah anak. Jika saya membawa kabur duit lembaga dari mana logikanya?”tanya dia.
Ahyudin sudah didepak dari ACT pada Januari lalu. Dia mengaku dipaksa untuk mundur dari ACT. Ahyudin merasa difitnah menggunakan dana lembaga untuk kepentingan pribadinya. Dia mengaku berani menghadapi masalah ini di jalur hukum.
“Jika tuduhan itu benar, saya seharusnya dilaporkan ke penegak hukum,” kata dia.
(ZBP)