BIMATA.ID, Jakarta-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyiapkan mata pencaharian alternatif untuk nelayan pelintas batas Indonesia – Australia. Upaya ini diharapkan dapat menekan laju pelanggaran penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia di wilayah perairan Australia.
“Mata pencaharian alternatif sangat penting mengingat kegiatan penyadartahuan dan penegakan hukum saja tidak akan berarti tanpa disertai solusi terkait peningkatan pendapatan nelayan lintas batas,” ungkap Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar dalam siaran resmi KKP, Jumat (27/5/2022).
Permasalahan nelayan lintas batas telah dibahas secara bilateral oleh KKP dan Australia. Di antaranya pertemuan antara Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dan otoritas terkait Australia di Jakarta menjelang akhir tahun 2021. Kemudian pertemuan Indonesia-Australia Fisheries Surveillance Forum (IAFSF) pada akhir Maret 2022 dan pertemuan lanjutan IAFSF di pertengahan Mei 2022. Serta pertemuan awal internal interkementerian yang diselenggarakan Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri (BHKLN), Sekretariat Jenderal KKP pada 20 Januari 2022 di mana disepakati bahwa salah satu solusi permasalahan nelayan lintas batas Indonesia-Australia adalah alternative livelihood (mata pencaharian alternatif).
Dalam upaya menyiapkan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pelintas batas, KKP melalui BHKLN menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan peserta perwakilan dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, Kemenko bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, serta Bappenas di Jakarta pada Jumat 27 Mei 2022.
“Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memberikan rekomendasi beberapa mata pencaharian alternatif bagi nelayan pelintas batas Indonesia-Australia yang mempertimbangkan semua aspek terkait baik ekonomi, sosial budaya, politik dan kondisi fisik/geografis daerah setempat,” ujar Kepala BHKLN KKP Agung Tri Prasetyo dalam paparan pengantar FGD tersebut.
Agung menjelaskan, nelayan tradisional Indonesia sebenarnya telah melakukan penangkapan di perairan Australia sejak lama. Komoditas tangkapan terdiri dari lola, teripang, abalon, kerang, dan hiu yang semuanya memiliki nilai ekonomi tinggi. Sedangkan lokasi penangkapan meliputi Ashmore Reef, Scott Reef, Seringapatam Reef, Cartier Island hingga jauh ke selatan sampai Marege (Arnhem Land) and Kayu Jawa (the Kimberley).
Pemerintah Australia bahkan mengakui hak perikanan tradisional nelayan Indonesia melalui penandatanganan perjanjian MoU Box 1974. Namun seiring perkembangan, Pemerintah Australia telah menetapkan Ashmore Reef sebagai Cagar Alam Nasional dan menutup wilayah tersebut dari aktivitas penangkapan ikan dan sumber daya laut lainnya yang sebelumnya diperbolehkan.
Perubahan status Ashmore Reef serta adanya delimitasi maritim sesuai perjanjian Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif dua negara, membuat aktivitas nelayan lintas batas Indonesia – Australia semakin terbatas dan akhirnya terjadi penangkapan ikan di luar area MoU Box.
“Tahun lalu ada 275 kasus kapal ikan kita ditangkap otoritas Australia. Ini kasus yang cukup tinggi. Oleh karena itu, upaya diplomasi memang sangat penting, di samping itu kita menyiapkan juga mata pencaharian alternatif. Di forum diskusi ini, ada perwakilan dari Pemda setempat, Kemenko Marves, Kemenlu, Bappenas yang bisa memberikan masukan terupdate dan hal-hal yang menjadi pengalaman dalam upaya meningkatkan mata pencaharian alternatif,” ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Perencanaan Umum Biro Perencanaan KKP Siddiq Pratomo, mengungkap Program Prioritas KKP di bawah nakhoda Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, berupa Pembangunan Kampung Budidaya berbasis kearifan lokal dapat menjadi solusi pekerjaan baru bagi nelayan pelintas batas. Terlebih kegiatan budidaya bukan hal baru bagi masyarakat NTT, khususnya budidaya rumput laut.
Di samping itu, KKP akan menerapkan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota yang membutuhkan banyak tenaga kerja ABK. Ada juga program Kampung Nelayan Maju yang diyakini dapat mendorong para nelayan pelintas batas untuk tidak lagi menangkap ikan di perairan Australia, mengingat potensi sumber daya alam di NTT juga sangat besar.
“Ada juga dukungan pembiayaan melalui BLU LPMUKP yang bisa kita optimalkan. Kemudian tiap-tiap unit kerja bisa berkolaborasi dalam menghadirkan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pelintas batas khususnya nelayan di wilayah Rote Ndao,” terangnya.
FGD Mata Pencaharian Alternatif Nelayan Pelintas Batas Indonesia – Australia turut dihadiri Peneliti Organisasi Riset Ilmu Sosial dan Humaniora, BRIN Dedi Supriadi Adhuri, serta perwakilan unit Eselon 1 lingkup KKP dan UPT KKP di wilayah Timur Indonesia.