BIMATA.ID, Jakarta – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI), Ahmad Taufan Damanik mengatakan, penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu tergantung dari kemauan atau keinginan politik (political will) seorang presiden.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tidak mungkin bergantung pada Komnas HAM RI.
“Saya berpendapat, yang paling utama itu adalah kemauan politik dari seorang presiden,” kata Ahmad Taufan, Kamis (19/05/2022).
Ahmad Taufan menilai, jika seorang presiden mendesak Jaksa Agung untuk menyelesaikan berbagai kasus HAM berat, maka semuanya akan jelas dan tuntas.
Sebagai contoh, penanganan kasus pelanggaran HAM berat Paniai Papua. Sebelum tim penyidik dibentuk dan naik ke tahap penyidikan, presiden terlebih dahulu memerintahkan Jaksa Agung untuk menyelesaikannya.
Ahmad Taufan menyebutkan, desakan dari presiden ke Jaksa Agung tidak lepas dari lobi-lobi dan upaya meyakinkan presiden oleh Komnas HAM RI.
“Akhirnya kasusnya naik ke penyidikan,” tandasnya.
Untuk itu, Ahmad Taufan mengajak semua pihak menunggu kelanjutan proses di pengadilan. Namun, apabila di meja hijau sama seperti kasus sebelumnya, maka bisa saja terduga pelaku dibebaskan.
Hal tersebut disampaikan mengingat atau belajar dari political will mantan Presiden Gus Dur bersama Jaksa Agung saat itu Marzuki Darusman. Ketika itu, ada kasus pelanggaran HAM berat yang naik ke meja pengadilan. Namun, di pengadilan terduga pelaku dibebaskan.
“Jadi, pengadilan juga penting didorong agar menegakkan keadilan bagi korban,” ujar Ahmad Taufan.
Oleh karenanya, sambung Ahmad Taufan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sebetulnya bukan masalah kewenangan Komnas HAM RI terbatas sampai di penyelidikan saja. Akan tetapi, lebih kepada kemauan politik dari seorang presiden.
Sebab, kalaupun wewenang penyidikan diberikan kepada Komnas HAM RI, penuntutan tetap berada pada Jaksa Agung dan pengadilan atau ranahnya Mahkamah Agung (MA) RI.
[MBN]