BIMATA.ID, Makassar – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah memberi bantuan incinerator untuk pemusnahan limbah medis kepada kurang lebih 15 provinsi mulai dari Sumatera sampai Papua.
Namun, yang mampu beroperasi dengan perizinan yang sudah lengkap dan dengan operasi sekitar 20 jam/hari baru incinerator yang berada dalam pengoperasian UPT PLB3 Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Provinsi Sulsel.
Incinator ini telah mulai beroperasi maksimal sejak tahun 2021 dengan kemampuan membakar kurang lebih 400.000 Kg limbah medis. Selama tahun 2021, UPT Pengolahan Limbah B3 pada DPLH Sulsel telah melayani 281 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), terdiri dari 54 rumah sakit, 43 klinik dan 184 puskesmas.
Diketahui, pada Februari 2022 lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan berkunjung ke fasilitas layanan pada Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (UPT PLB3) pada Dinas DPLH Sulsel yang berada di kawasan Industri Makassar (KIMA).
Luhut menyebut ini merupakan satu-satunya milik pemerintah daerah yang sudah beroperasi secara maksimal di Indonesia.
“Incinerator ini juga dikunjungi oleh Pak Luhut. Satu-satunya bantuan pusat bersamaan yang sukses dan fungsional,” kata Gubernur Sulsel Andi Sudirman, Selasa (26/4/2022).
Bahkan saat kunjungan tersebut, Luhut mengaku akan membantu peningkatan kapasitas sekaligus menjadikan lokasi ini sebagai benchmark bagi daerah lain. Andi Sudirman pun menyatakan bahwa incinerator Sulsel menjadi yang terbaik di Indonesia.
“Incinerator DPLH Sulsel menjadi terbaik dan percontohan di Indonesia ,” lanjut Sudirman.
UPT ini pun menjadi salah satu prioritas Sudirman pada 2022 untuk penambahan kapasitas pemusnahan limbah B3 dengan target kapasitas 250 Kg/jam.
Kepala Dinas PLH Sulsel Andi Hasbi menyebut, terkait incinerator bantuan tersebut di provinsi lain belum ada yang lengkap perizinannya, semua beroperasi karena adanya edaran dari Kemenko Marves yang memerintahkan semua incinerator yang ada, baik yang sudah berizin maupun belum berizin agar dimanfaatkan untuk membantu memusnahkan limbah Covid-19.
Demikian pula dengan pengoperasiannya. Incinetaror UPT PLB3 Sulsel telah beroperasi maksimal sekitar 20 jam sehari dengan teknik yang sesuai dengan aturan pemerintah dan sesuai dengan aturan keselamatan dan jam kerja.
Di sisi lain dengan pengoperasian incinrator ini, Pemprov Sulsel selain terbantu dalam pemusnahan limbah medis yang terproduksi, juga mendapat pemasukan PAD yaitu sekitar Rp6 miliar pada tahun 2021.
Hal lain yang juga sangat penting adalah dengan beroperasinya incinerator ini, telah membantu meringankan biaya operasional rumah sakit di Sulawesi Selatan, bahkan seluruh Indonesia.
“Pak Luhut bahkan minta ke direktur PLB3 Kementerian LHK untuk mengajak Provinsi lain belajar ke Sulsel,” sebutnya.
Sebelum beroperasinya incinerator Pemprov Sulsel, biaya yang ditanggung rumah sakit rata-rata Rp. 50 ribu/kg limbah medis. Namun, setelah dihitung secara teknis sebagai dasar penetapan tarif pemusnahan di incinerator Pemprov Sulsel hanya dibutuhkan Sekitar Rp25 ribu/kg dan akibat penetapan tersebut menyebabkan pelaku usaha incinerator secara nasional juga menurunkan tarifnya.
“Kunjungan Pak Luhut juga sebelumnya, ingin mengetahui, mengapa Sulsel bisa lebih baik dibanding yang lain, yang bisa dikatakan belum beroperasi. Bahkan ada di salah satu provinsi, beberapa bagian incineratornya diambil orang karena belum beroperasi,” ujarnya. (*)
[HW]