Ukraina dan Rusia Kecewa Sekaligus Berharap Pada Indonesia
BIMATA.ID, Jakarta- Aroma konflik Rusia versus Ukraina dirasakan BBC News Indonesia saat berbincang dengan duta besar kedua negara secara terpisah di Jakarta. Baik Dubes Rusia, Lyudmila Vorobieva, dan Dubes Ukraina, Vasyl Hamianin, bersilang pendapat soal konflik ini, termasuk siapa yang patut disalahkan atas perang yang sudah berlangsung sejak 24 Februari itu.
Hamianin berkeras bahwa invasi Rusia di negaranya adalah kejahatan perang. Sebaliknya, Vorobieva menolak menyebut situasi di Ukraina adalah sebuah perang melainkan “operasi demiliterisasi dan denazifikasi”.
Kedua duta besar juga menyampaikan kekecewaan mereka atas posisi yang diambil oleh pemerintah Indonesia, tentu dari sudut pandang masing-masing.
Ukraina menganggap pernyataan Indonesia dalam menanggapi invasi Rusia ke negaranya lemah, karena tidak menyebut nama Rusia sebagai agresor. Sementara Rusia kecewa karena Indonesia menjadi salah satu pendukung resolusi di Majelis Umum PBB yang menuntut Rusia segera mengakhiri serangan ke Ukraina.
Vorobieva menyampaikan bahwa “operasi militer” negaranya akan berakhir jika Ukraina menyerah sekaligus membatalkan keinginannya untuk bergabung bersama NATO.
Namun, Hamianin menegaskan bahwa bangsanya tidak akan pernah menyerah. Dia menegaskan invasi Rusia membuat orang Ukraina bersatu dan hal itu tidak diperkirakan Rusia sebelumnya.
Berikut pernyataan Vorobieva dan Hamianin saat diwawancara jurnalis BBC News Indonesia, Valdya Baraputri. Wawancara dilakukan di tempat dan waktu yang terpisah.
Sampai kapan perang di Ukraina berlanjut?
Hamianin: Ukraina tidak akan menyerah. Itulah yang mereka [Rusia] tidak kira. Tidak, Ukraina tidak akan menyetop perang ini dengan konsekuensi apapun, dengan menyerah. Karena ini bukanlah perang antarkekuatan militer, bukan. Ini adalah perang terhadap bangsa Ukraina.
Ini adalah serangan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Ukraina. Dan juga serangan terhadap hidup warga sipil di seluruh negeri.
Sekarang bangsa kami bersatu, negara kami benar-benar bersatu, dengan niat sangat kuat untuk mengalahkan musuh, dan seluruh negeri bertarung.
Vorobieva: Situasi di Ukraina berjalan sesuai dengan rencana operasi militer spesial yang kami lancarkan di Ukraina. Kami tidak berada dalam kondisi berperang dengan Ukraina, kami tidak bertarung melawan bangsa Ukraina.
Kami melihat mereka sebagai saudara kami, kami satu rumpun, dan kami tidak mau menyakiti warga sipil.
Karena itu kami berbicara dengan pihak Rusia mengenai jalur kemanusiaan, sehingga warga sipil dapat diselamatkan.
Hamianin: Anda tidak bisa berbicara sambil terus membunuh di waktu bersamaan. Jika Anda ingin menunjukan niat baik Anda, mendemonstrasikan niat Anda, hal yang pertama-tama harus Anda lakukan adalah berhenti membunuh warga sipil, berhenti mengebom kota-kota. Dan itulah yang tidak bisa [Rusia] lakukan.
Apa alasan Rusia menginvasi Ukraina?
Vorobieva: Bagi Rusia, sudah jelas dinyatakan oleh presiden kami, tujuan dari operasi kami adalahsekali lagi ini bukan perang, terutama ini bukan perang melawan orang Ukraina. Tujuan operasi ini adalah demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.
Batas hal yang tidak bisa kami terima adalah janji dari NATO untuk menerima Ukraina sebagai anggotanya. Apa alasannya?
Juga, alasan yang sederhana. Saat Uni Soviet terpecah di tahun 1991, kami menyetujui reunifikasi Jerman, dan kami menarik pasukan kami dari Jerman Timur. Kami telah meraih kesepakatan dengan NATO bahwa NATO tidak akan berkembang ke arah Timur, ke arah Rusia.
Kami mempercayai itu, tapi itu ternyata dusta. Karena sejak 1999 hingga 2020, terdapat lima kali pengembangan NATO ke arah negara kami.
Jadi, batasnya bagi kami adalah Ukraina. Karena Ukraina adalah tetangga kami. Kami memiliki perbatasan yang panjang dengan Ukraina, sekitar 2.000 km jika tidak salah. Dan bayangkan jika infrastruktur militer NATO datang ke perbatasan Rusia. Tak bisakah kami merasa terancam dengan perkembangan semacam itu? Tentu bisa.
BBC News Indonesia: Tapi saya harus menanyakan ini, Ibu duta besar, bagaimana dengan otonomi Ukraina sebagai negara merdeka untuk membuat keputusan mereka sendiri? Apakah mereka mau bergabung dengan NATO atau tidak, apakah mereka mau bergabung dengan Uni Eropa atau tidak. Bagaimana menurut Anda akan hal itu?
Vorobieva: Pertama-tama, rakyat Ukraina harus ditanya. Bukan hanya pemerintahan boneka yang dipasang oleh Barat. Kemauan rakyat Ukraina harus dipertimbangkan. Selama delapan tahun ini, tidak ada yang bertanya pada rakyat Ukraina apa yang mereka mau.
Dan saya yakin, jika tidak ada tekanan dari luar, pikiran dari rakyat Ukraina tidak dimanipulasi oleh pemerintah boneka mereka dan propaganda Barat, maka jawabannya pasti akan berbeda.
(Pada bulan Desember 2021, hasil polling International Republican Institute, menunjukan 54% masyarakat Ukraina mau memilih bergabung dengan NATO. Sementara di bulan Februari 2022, sebelum invasi Rusia, hasil poling Rating Sociological Group menunjukan 62% masyarakat Ukraina mendukung langkah untuk bergabung dengan NATO.)
Bagaimana mengakhiri perang di Ukraina?
Vorobieva: Jika pihak Ukraina menginstruksikan militer Ukraina untuk menyerah, jika pihak Ukraina sepakat bahwa mereka akan menjadi negara netralsetidaknya negara netral, tidak bergabung dengan NATO, dan kita melihatnya tidak hanya lewat kata-kata tapi juga lewat perbuatan, maka itu dapat menjadi alasan kuat untuk menghentikan operasi [militer].
Tujuan kami bukan untuk mengokupasi Ukraina, bukan untuk menghancurkan Ukraina.
Hamianin: Saya mendengarkan pidato Bung Tomo di Surabaya. Dan setiap kata yang ia ucapkan, setiap kata-katanya itulah yang tengah terjadi di Ukraina. Tuntutan untuk menyerah, tuntutan untuk mengibarkan bendera putih, tuntutan untuk demiliterisasi, semua tuntutan itu.
Lalu apa yang terjadi? Faktanya, seluruh negeri, orang-orang berbagai usia, bukan hanya dari kalangan polisi atau militer, mereka datang untuk mempertahankan negeri. Lalu apa yang terjadi? Mereka menang. Mereka mengalahkan musuh yang sangat kuat.
Inilah yang akan terjadi di Ukraina, cepat atau lambat. Karena ini adalah perang. Kami menyebutnya perang patriotik. Ini adalah perang untuk mempertahankan tanah air. Seluruh negeri tengah bertarung.
Itulah yang akan terjadi. Hingga tentara terakhir Federasi Rusia mati di tanah Ukraina, atau diusir ke Rusia. Jika itu tidak terjadi, perang ini akan terus berlanjut.
Bagaimana Anda melihat posisi yang diambil oleh Indonesia?
Hamianin: Pernyataan yang dibuat Indonesia, pada hari ketiga atau keempat agresi militer, ketika banyak warga sipil sudah menjadi korban, pernyataan ini lemah. Sang agresor tidak disebut. Saya tidak melihat ada nama Rusia dalam pernyataan itu.
Saya pikir, pada situasi seperti ini, di saat malapetaka militer tengah terjadi, malapetaka kemanusiaan tengah terjadi, kejahatan perang dilakukan dalam skala besar di Ukraina, saya harap setiap bangsa, setiap bangsa dengan niat baik, terutama bangsa besar Indonesia yang tahu harga besar untuk kemerdekaan, yang tahu apa yang telah dilalui untuk mencapai kemerdekaan.
Setiap bangsa harus angkat bicara dan mengutuk agresi ini. Tidak hanya mengutuk agresi apa adanya, tapi juga menyebut sang agresormenyebut nama penjajah.
Anda bisa netral. Hal itu baik untuk kemanan dan perdamaian, tapi Anda tidak bisa abai. Pengabaian dan netralitas, tolong jangan campurkan keduanya.
Dengan menjadi netral, tidak berarti Anda tidak mengutuk agresi. Menjadi netral bukan berarti Anda tidak mengirimkan bantuan kemanusiaan atau lainnya.
Menjadi netral berarti Anda tidak berpartisipasi dalam konflik secara langsung; Anda tidak mengirim pasukan atau senjata. Saya mengerti itu, karena kami menghindari mengorbankan lebih banyak jiwa. Tapi Anda bisa melakukan hal lain, dan tetap netral.
Karena, jika Anda mengutarakan dukungan pada Rusia, Anda mendukung pembunuhan. Jika Anda mengutarakan dukungan pada Putin, Anda mendukung pembunuhan.
BBC News Indonesia: Indonesia tahun ini memimpin G20, apa yang menurut Anda yang bisa Indonesia lakukan terkait situasi di Ukraina?
Hamianin: Salah satu sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pengucilan Rusia dari organisasi internasional yang penting itu, boikot Rusia dari pertemuan internasional. Ini yang kami harapkan juga dari G20. Anda bisa katakan pada Rusia, sampai Anda menghentikan peperangan di Ukraina, Anda tidak akan diterima di G20.
Vorobieva: Saya kecewa dengan keputusan pemerintah Indonesia, yang kami pandang sebagai mitra dan teman baik, menjadi salah satu pendukung resolusi [Majelis Umum] PBB mengutuk Rusia sebagai agresor. Tapi kami masih melihat Indonesia sebagai teman dan mitra, dan saya harap situasi ini tidak akan mempengaruhi hubungan bilateral kita.
Saya harap Indonesia tidak akan mengikuti reaksi histerikal [negara-negara lain] karena reaksi Barat itu di luar akal sehat.