Bimata

Legislator Gerindra Minta Pemerintah Kaji Ulang Pemberlakuan PPN 11 Persen

BIMATA.ID, Jakarta — Menurut UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kenaikan tarif PPN sebesar 11% akan diberlakukan pada 1 April 2022. Ketentuan tersebut dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan perpajakan.

UU HPP merupakan undang-undang yang terdiri atas 9 bab dan 19 pasal yang mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan UU Cukai.

Menaggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan menyatakan idealnya aturan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.

Politisi yang biasa disapa Hergun ini menjelaskan ketentuan kenaikan tarif PPN 11 persen diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU PPN.

“Namun melihat kondisi terkini, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang pemberlakukan ketentuan tersebut. Ada sejumlah alasan yang mendukung penundaan pemberlakukan kenaikan tarif PPN 11%,” kata Hergun yang juga menjabat sebagai Kapoksi Fraksi Partai Gerindra Komisi XI DPR-RI kepada awak media di Jakarta pada Kamis (10/3/2022).

Pertama, kata Hergun, hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan aturan teknis. Padahal aturan teknis ini penting sebagai pedoman pelaksanaan pemberlakukan tarif PPN 11%.

Selain itu, aturan teknis tersebut juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat terlebih dahulu agar masyarakat memahami dan mengerti aturan tersebut.

“Sekarang tinggal 20 hari lagi menuju 1 April 2022. Tampaknya waktunya terlalu mepet untuk membuat dan menyosialisasikan aturan teknisnya,” lanjutanya.

Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR-RI itu melanjutkan alasan kedua yakni kondisi perekomian nasional yang terdampak penyebaran varian omicron, kenaikan komoditas global dan energi, serta terjadinya perang Rusia-Ukraina.

“Sejak memasuki 2022, ekonomi rakyat mulai terdesak oleh kenaikan sejumlah produk, antara lain minyak goreng, kedelai, daging, BBM non subsidi dan yang lainnya. Keadaan diperparah dengan terjadinya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga sejumlah komoditas global makin melejit tinggi,” lanjutnya.

Ketua DPP Partai Gerindra itu lalu menambahkan alasan yang ketiga yakni kinerja penerimaan perpajakan 2022 berpeluang melanjutkan capaian positif 2021. Realiasasi penerimaan pajak 2021 mengakhiri tradisi shortfall pajak (penerimaan pajak di bawah target yang ditetapkan) selama 12 tahun.

“Penerimaan pajak di tahun 2021 mencapai Rp1.277,5 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 103,9% dari target penerimaan pajak dalam APBN 2021. Hal tersebut didorong oleh meningkatkanya ekspor impor dampak dari kenaikan komoditas global dan energi,” paparnya.

“Memasuki 2022 harga komoditas global dan energi belum menunjukkan penurunan. Bahkan makin melejit akibat dampak perang Rusia-Ukraina. Harga minyak Brent telah mencapai 131 dolar AS per barel. Sehingga, pemerintah bisa mendapatkan penerimaan negara dari kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) dan sejumlah komoditas lainnya,” tegasnya.

Hergun melanjutkan alasan keempat yaitu bulan April 2022 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1443 H yang kemudian disusul dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri pada bulan Mei 2022.

“Memasuki bulan suci, biasanya masyarakat meningkatkan konsumsinya. Bila akan dikenakan PPN 11%, maka akan membebani dan sekaligus bisa menurunkan daya beli masyarakat. Padahal konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.

Menurut BPS, pada kuartal IV-2021, konsumsi masyarakat menyumbang 52,9% PDB (Produk Domestik Bruto). Sehingga penurunan daya beli dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan PDB.

Politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) akhirnya memberi solusi konkrit untuk memberlakukan ketentuan PPN 11% sebagaimana yang diamanatkan oleh UU HPP.

“Pemerintah perlu membuat kajian yang komprehensif mengenai kondisi perekonomian global, regional, nasional dan daerah serta dampaknya terhadap kehidupan rakyat. Hasil kajian akan menentukan waktu yang tepat untuk memberlakukan PPN 11%,” tegasnya.

“Dari hasil kajian tersebut, Pemerintah lalu membuat aturan teknis mengenai pemberlakukan PPN 11%, serta menyosialisasikannya kepada masyarakat dalam waktu yang cukup, sehingga masyarakat memiliki pemahaman mengenai aturan tersebut,” lanjutnya.

Ia menambahkan, bila pemerintah mendapatkan penerimaan perpajakan yang berlipat dari kenaikan komoditas global dan energi sebagaimana 2021, maka bisa memberlakukan insentif untuk penambahan tarif PPN 1% ditanggung oleh pemerintah (DTP). Sehingga aturan UU tetap bisa dilaksanakan tanpa membebani masyarakat.

“Namun, bila pemerintah tidak memiliki dana yang cukup dan khawatir akan menambah hutang dan defisit, maka sebaiknya ketentuan PPN 11% diberlakukan pada kwartal IV-2022 yang biasanya terjadi lonjakan belanja pemerintah sebagai pendorong perekonomian nasional,” pungkasnya.

Usman

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version