BIMATA.ID, Jakarta- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai kebijakan baru mengenai harga minyak goreng disinyalir adanya kurang koordinasi antar kementerian.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menetapkan harga minyak goreng curah dipatok Rp 14.000 per liter. Sementara harga minyak goreng kemasan premium mengikuti harga pasaran yang mengacu harga internasional yang membuat harganya melambung hampir dua kali lipat.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan belum mengeluarkan aturan teknis terkait kebijakan harga minyak goreng ini. Rusli menilai, saat Menko Airlangga mengumumkan patokan harga baru, Kemendag langsung mengeluarkan aturannya.
“Ini menunjukkan tidak adanya atau kurangnya koordinasi antara kementerian, seharusnya ketika Pak Airlangga bilang itu, hari itu juga ada beleid yang mengatur aturan teknis dan sebagainya,” katanya.
“Ini kan ngomong dulu baru dibuat (aturannya), ini menunjukkan tidak adanya koordinasi,” tambahnya.
Rusli menilai, hal tersebut berimbas pada ketidakpastian harga di pasaran. Ini juga berimbas pada sulitnya konsumen mendapatkan harga yang sesuai, sementara penjual bingung menjual dengan harga acuan yang mana.
Menurut informasi, harga minyak goreng di ritel Yomart telah mengalami penyesuaian. Namun di minimarket, harganya masih tetap mengacu pada HET yang ditetapkan, meski tidak ada stok yang dipajang.
Rusli kembali menekankan, apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah, harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat. Utamanya terkait penyaluran minyak goreng curah.
“Apapun kebijakannya, mau DMO-DPO atau subsidi, pemerintah harus sediakan minyak goreng curah yang cukup, sekarang kan emak-emak itu konsumsinya minyak goreng curah banyaknya,” katanya.
Kurangnya koordinasi kebijakan ini, menurut Rusli akan menimbulkan celah pelanggaran yang terjadi. Misalnya terkait penimbunan stok minyak goreng, saat masa transisi harga muncul fenomena kelompok yang memborong harga HET sebelumnya atau Rp 14.000 per liter untuk kemasan premium.
“Itu menunjukkan kebijakan ini menurut saya belum ada persiapan yang matang, terbukti dari beleid yang belum disiapkan, ketika diatur, regulasinya belum kokoh, otomatis di lapangan ada yang tidak kita inginkan,” katanya.
(ZBP)