Politik

Heri Gunawan Ingatkan Dampak Perang Terhadap Perekonomian Nasional  

Suara Gerindra

BIMATA.ID, Jakarta — Konflik militer antara Rusia dan Ukraina sudah memasuki satu pekan. Ekskalasi perang semakin meningkat, sementara perundingan yang digelar di Belarusia belum menemukan kesepatan damai. Perang yang berkepanjangan akan berdampak terhadap ekonomi global, termasuk ekonomi Indonesia.

 

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan menyatakan pemerintah harus mengantisipasi tekanan terhadap perekonomian nasional. Hal-hal yang perlu diwaspadai antara lain terjadinya lonjakan harga gandum dan produk turunannya, melonjaknya harga minyak dunia, serta potensi melemahnya kinerja ekspor dan impor.

 

“Saat ini rakyat masih kesusahan akibat lonjakan harga minyak goreng, kedelai, dan daging sapi. Bila ditambah lagi dengan lonjakan harga gandum dan produk turunannya, maka akan menambah beban rakyat,” kata Heri Gunawan yang juga menjabat sebagai Kapoksi Fraksi Partai Gerindra di Komisi XI DPR-RI kepada awak media di Jakarta pada Rabu (02/03/2022).

 

Politisi yang biasa disapa Hergun ini menambahkan, Ukraina merupakan salah satu negara pemasok gandum terbesar kedua untuk Indonesia. Perang Rusia-Ukraina akan menghambat suplai gandum ke Indonesia sehingga bisa berdampak naiknya harga gandum dan produk turunannya.

 

“Pada 2021, total nilai impor gandum Indonesia mencapai 3,54 miliar dolar AS. Impor terbesar dari Australia mencapai 41,58 persen atau sebesar 1,47 miliar dollar AS, disusul Ukraina sebesar 25,91 persen atau senilai 919,43 juta dolar AS,” lanjutnya.

 

Hergun berpandangan pemerintah sebaiknya sudah harus menyiapkan langkah mitigasi menghadapi kelangkaan gandum. Seiring dengan pemulihan ekonomi, tentunya akan membutuhkan pasokan gandum yang lebih banyak. Pemerintah perlu menjajaki negara-negara lain sebagai pengganti ataupun second opinion dari Ukraina.

 

“Meskipun diperkirakan akan kesulitan mendapatkan substitusi negara penghasil gandum karena banyak negara lain yang juga membutuhkan pasokan gandum, pemerintah harus mencoba secara optimal,” lanjutnya.

 

Perlu diketahui, pada 2021/2022, Indonesia merupakan pengonsumsi gandum peringkat ke-14 dunia yaitu sebanyak 10,4 juta ton. Peringkat pertama diduduki oleh China sebanyak 148,5 juta ton. Disusul Uni Eropa 107,65 juta ton, India 104,25 juta ton, Rusia 41,5 juta ton, dan Amerika Serikat 30,97 juta ton.

 

“Industri makanan-minuman di Indonesia membutuhkan gandum impor untuk bahan baku. Jika perang berlangsung lama dan tidak ada pengganti gandum dari Ukraina, maka stok gandum dalam negeri akan menurun. Dampaknya, produksi bisa terganggu,” lanjutnya.

 

“Bila produksi menurun, bisa mengakibatkan pengurangan karyawan baik yang dikurangi jam kerjanya, dirumahkan atau di-PHK. Hal tersebut bisa meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan pada 2022. Padahal pada 2021, angka penggangguran sudah turun dari 7,07 persen pada Agustus 2020 menjadi 6,49 persen pada Agustus 2021. Dan angka kemiskinan juga turun dari 10,19 persen pada September 2020 menjadi 9,71 persen pada September 2021,” tegasnya.

 

Hergun berharap persoalan gandum bisa segera teratasi sehingga tidak menimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga sebagaimana minyak goreng, kedelai, dan daging sapi. Selain industri makanan-minuman, sejatinya banyak UMKM yang tergantung pada pasokan gandum antara lain penjual mie ayam, penjual roti, dan lain sebagainya.

 

Ketua DPP Partai Gerindra itu menambahkan, dampak lainnya yang perlu diwaspadai adalah kenaikan harga minyak dunia yang pada Rabu (2/3/2022) sudah naik menjadi 107,47 dolar AS per barel untuk harga minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak Mei 2022. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik menjadi 106,23 dolar AS per barrel.

 

“Sebelum terjadinya perang Rusia melawan Ukraina, pasar energi sudah bergejolak. Hal tersebut dikarenakan pasokan minyak sedunia tidak mampu mengimbangi pemulihan ekonomi yang kuat ketika Pandemi Covid-19 mulai melandai. Kondisi diperparah dengan terjadinya perang Rusia-Ukraina yang berpotensi menganggu pasokan minyak dari Rusia,” jelasnya.

 

“Kenaikan minyak dunia di satu sisi menguntungkan APBN karena mendapatkan lonjakan penerimaan negara. Namun di sisi lain menyusahkan rakyat karena harus menerima kenaikan harga BBM,”lanjutnya.

 

Hergun membeberkan pada 12 Februari 2022, Pertamina telah menaikkan harga 3 jenis BBM non subsidi. Yaitu Pertamina Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite. Kenaikan harga berkisar Rp1.500-Rp2.650 dari harga sebelumnya. Jika harga minyak dunia terus melambung, bukan tidak mungkin Pertamina juga akan kembali menaikkan harga BBM.

 

“Kenaikan harga BBM tentunya akan mendorong kenaikan harga. Indonesia akan mengalami tekanan yang cukup kuat. Kenaikan harga minyak akan mendorong pada dua pilihan menaikkan subsidi energi atau menaikkan harga BBM dan listrik. Dua-duanya merupakan pilihan yang sulit karena akan berdampak terhadap APBN dan daya beli masyarakat,” jelasnya.

 

Perlu diketahui, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp77,5 triliun. Subsidi tersebut dengan asumsi harga ICP sebesar 63  dolar AS per barel. Saat ini harga minyak dunia sudah melambung di atas 100 dolar AS per barel sehingga perlu penambahan subsidi.

 

Menurut data pemerintah, setiap kenaikan 1 dolar AS per barel berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp2,65 triliun.

 

Selain itu, kenaikan ICP juga memberikan dampak terhadap subsidi listrik dan kompensasi listrik. Pasalnya saat ini masih terdapat penggunaan BBM dalam pembangkit listrik. Asumsinya, setiap kenaikan ICP sebesar 1 dolar AS per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp295 miliar.

 

“Sejatinya kenaikan minyak dunia juga akan mengerek harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP). Saat ini minyak mentah dunia telah melewasi batas 100 dolar AS Per barrel. Padahal dalam APBN harga ICP hanya dipatok 63 dolar AS per barrel. Artinya, ada selisih 37 dolar AS per barrel,” katanya

 

“Kenaikan ICP akan berdampak pada sisi pendapatan dan belanja negara. Dari sisi pendapatan negara, kenaikan ICP akan meningkatkan pendapatan negara yang berbasis komoditas migas yaitu pajak penghasilan (PPh) Migas dan pendapatan negara bukan pajak SDA Migas. Sementara dari sisi belanja negara, kenaikan ICP akan meningkatkan subsidi energi, dana bagi hasil (DBH), anggaran pendidikan, dan anggaran kesehatan,” lanjutnya.

 

Dalam dokumen Nota Keuangan dan APBN 2022 dijelaskan bahwa kenaikan 1 dolar AS per barrel bisa menambah pemasukan negara neto sebesar Rp400 miliar. Dengan adanya selisih harga 37 dolar AS per barel maka akan menambah pemasukan negara sebesar Rp14,8 triliun.

 

Hergun berpandangan, kenaikan minyak dunia dunia sejatinya bisa dimanfaatkan oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk menaikkan lifting minyak bumi sehingga Indonesia mendapatkan keuntungan lebih banyak.

 

“Sayangnya, pada realisasi lifting minyak bumi sepanjang 2021 hanya tercapai 660 barrel oil per day (BPOD), angka ini lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar 705 BOPD. Tidak optimalnya lifitng minyak pada 2021 menimbulkan pesimisme akan terpenuhinya target lifting minyak bumi pada 2022 yang ditetapkan sebesar 603 BPOD,” tegasnya.

 

Hergun berharap pemerintah mampu memanfaatkan kenaikan ICP untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keuntungan dari kenaikan perlu didistribusikan untuk menambah subsidi energi dan sekaligus menahan kenaikan harga BBM di dalam negeri.

 

Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR-RI itu juga mengingatkan dampak lainnya dari perang Rusia-Ukraina yaitu potensi menurunnya kinerja ekspor dan impor yang bisa menganggu target pertumbuhan ekonomi pada 2022.

 

“Pada 2022, pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,2 persen. Target yang cukup tinggi tersebut berpijak pada baseline 2021 yang mampu tumbuh sebesar 3,69 persen. Capaian 2021 antara lain didukung oleh kinerja ekspor yang tumbuh 24,04 persen dan impor tumbuh 23,31 persen,” katanya.

 

“Kinerja ekspor dan impor telah memberikan dampak positif terhadap penerimaan dan belanja negara. Realisasi pendapatan negara pada 2021 mencapai 114,9 persen. Sementara realisasi belanja negara mencapai 101,3 persen. Adapun defisit turun dari target 5,7 persen menjadi 4,65 persen,” lanjutnya.

 

Hergun menjelaskan, adanya perang Rusia-Ukraina akan berdampak terhadap kinerja ekspor-impor Indonesia terutama terhadap kedua negara tersebut.

 

“Nilai ekspor Indonesia ke Ukraina sepanjang 2021 mencapai 416,99 juta dolar AS. Sedangkan nilai impor dari negara tersebut mencapai 1,04 miliar dolar AS, sehinga neraca perdagangan Indonesia dengan Ukraina mengalami defisit 623 juta dolar AS. Namun defisit tersebut bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya menurun 15,6 persen,” katanya.

 

“Sementara nilai ekspor Indonesia ke Rusia tumbuh 53,42 persen menjadi 1,49 miliar dolar AS. Sedangkan nilai impor mencapai 1,25 miliar dolar AS. Dengan demikian neraca perdagangan Indonesia dengan Rusia tercatat surplus 239,79 juta dolar AS,” lanjutnya.

 

Hergun melanjutkan, Rusia dan Ukraina mengandalkan Indonesia untuk pasokan minyak sawit mentah (CPO). pada 2021 Indonesia mengekspor 1.1 miliar dolar AS atau Rp 14,74 triliun (Kurs= Rp 14.300/dolar). Jumlah ini setara dengan 3,8% dari total ekspor CPO keseluruhan tahun 2021 sebesar 28,5 miliar dolar AS. Lebih rinci, Indonesia mengekspor CPO ke Rusia sebesar Rp10,2 triliun dan Ukraina sebesar Rp4,4 triliun.

 

“Komoditas lain yang diekspor ke Rusia meliputi karet dan barang dari karet senilai 99,1 juta dolar AS, alas kaki dengan nilai 72,2 juta dolar AS, serta karet dan barang dari karet dengan nilai 89,2 juta dolar AS,” katanya.

 

“Sementara dengan Ukraina, selain CPO komoditas lauin yang diekspor meliputi karet dan barang dari karet sebesar 3,95 juta dolar AS, serta alas kaki senilai 5,13 juta dolar AS,” lanjutnya.

 

Hergun mengingatkan, gangguan rantai untuk sejumlah komoditas di Rusia dan Ukraina saat perang akan berdampak bagi Indonesia. Selain karena pasokan yang berkurang di Indonesia, harga global juga bisa meningkat.

 

Politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) memberi solusi secara komprehensif dari hulu hingga ke hilir.

 

“Pertama, dari hulu, pemerintah perlu memanfaatkan posisi sebagai presidensi G20 untuk menyerukan kepada kedua belah pihak serta negara-negara lain yang terlibat dukung-mendukung, untuk kembali mengutamakan upaya pemulihan ekonomi global. Perang hanya akan menyurutkan upaya pemulihan serta berpotensi membawa masyarakat global pada krisis ekonomi dan kesengsaraan,”katanya.

 

Kedua, lanjut Hergut, Indonesia memiliki pengalaman menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok. Sejarah tersebut bisa diulang dengan memanfaatkan momentum sebagai Presidensi G20 menambah agenda perdamaian dunia sebagai agenda prioritas ketujuh. Semua pihak perlu diingatkan kembali mengenai pentingnya dialog sebagai solusi menghentikan pertikaian.

 

“Ketiga, presiden Indonesia sebagai pemimpin negara muslim terbesar di dunia, perlu menyerukan negara-negara muslim lainnya yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), untuk berperan aktif dalam mendamaikan pertikaian Rusia dan Ukraina. OKI bisa menjadi penengah yang netral,” lanjutnya.

 

Kemudian dari sisi hilir, pertama, pemerintah perlu mengantisipasi perang Rusia-Ukraina dengan menyiapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan pemulihan ekonomi nasional, meningkatkan kinerja ekspor, menjaga kinerja impor terutama untuk impor bahan baku untuk menggerakkan sektor manufaktur, serta mewujudkan pertumbuhan sesuai target yang ditetapkan.

 

“Kedua, terkait dengan potensi kenaikan harga, pemerintah perlu meresponnya dengan melakukan operasi pasar dan menindak pihak-pihak yang terbukti melakukan penimbunan,”pungkasnya.

Tulisan terkait

Bimata
Close