BIMATA.ID, Jakarta- Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Bidang Manajemen Konektivitas Sahat Panggabean menjelaskan isu tingginya biaya logistik Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya di Asean menjadi persoalan yang disorot baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah.
Mulai dari relasi pemerintah ke pemerintah yang tak terkoneksi satu sama lain. Demikian pula dari pemerintah ke pelaku usaha atau di antara sesama pelaku usaha yang masih bersifat manual.
Dia menilai, semestinya persoalan ini tak lagi terjadi pada era digitalisasi. Digitalisasi dan modernisasi menjadi strategi pemerintah menurunkan biaya logistik guna menghindari asimetri informasi.
“Semuanya bisa selesai dengan perkembangan teknologi. Kami fokus ke pelabuhan dulu. Supaya layanan yang prosesnya manual ada digitalisasinya. Proses ini sudah berjalan sejak 2020 kemarin dengan baik karena saat ini Pelindo I-IV juga sudah merger,” ujar Sahat, Rabu (23/02/2022).
Menurutnya, lewat merger tersebut, sektor pelabuhan akan lebih mudah memperbaiki diri. Meski demikian langkah ini tidak bisa hanya berasal dari sektor pelabuhan. Namun juga dari memerlukan sinergi para pemilik kapal, begitu pula dengan pergerakan ke gudang dengan mengembangkan dry port sebagai hub and spoke.
Mengacu kepada Instruksi Presiden (Inpres) No.5/2020 ada sebanyak 10 layanan yang wajib dilakukan digitalisasi. Pertama terkait dengan perizinan single submission, kemudian single submission joint inspection Quarantine and customs.
Kemudian, Delivery Order (DO) online, SP2 online, Autogates system, Trucking, Depo Container, Warehouse, Domestic vessel, serta payment (single billing, single payment).
Pemerintah selanjutnya menguji coba National Logistic Ecosystem (NLE) di 18 pelabuhan nasional. Mayoritas layanan ini masih diterapkan di bawah pelabuhan yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo dan akan diperkuat ke pelabuhan lainnya.
“Masih ada total sekitar 2.500 pelabuhan lebih di Indonesia. Layanan digitalisasi ini bukan hanya pemerintah ke pemerintah tapi juga bisnis ke bisnis supaya asimetri informasi bisa dihilangkan. Kami kembangkan juga ke pelabuhan curah bukan milik Pelindo,” tuturnya.
Sahat mengungkapkan, dalam implementasi NLE terdapat sedikit hambatan. Khususnya di wilayah timur Indonesia karena belum diikuti dengan terbangunnya infrastruktur jaringan yang memadai.
“Perusahaan ke depan akan membangun layanan NLE agar bisa diakses lebih mudah. Nantinya kami ingin seperti Gojek, di hp kita bisa proses layanan pemesanan yang dilakukan. Di Mudah-mudahan di 2022 bisa ada progres yang lebih baik yang bisa diakses lewat gadget,” ungkapnya.
Berdasarkan data Kemenkomarves, sistem NLE telah menciptakan efisiensi baik dari sisi waktu dan biaya dengan sistem yang berlangsung non stop selama 1×24 jam. Sebagai contoh proses DO dan SP2 online mampu menghemat biaya Rp402 miliar per tahun dengan efisiensi waktu sebesar 91 persen.
(ZBP)