BIMATA.ID, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR RI.
Ada beberapa catatan kritis dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berkaitan dengan penyempurnaan frasa (kata), agar tidak menimbulkan makna ambigu.
“Kami berharap, catatan-catatan yang kami kemukakan menjadi renungan, korektif, dan konstruktif bagi kinerja legislatif kita semua,” tutur Juru Bicara (Jubir) Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Renny Astuti, dalam Rapat Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan III, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/01/2022).
Renny menyatakan, Fraksi Partai Gerindra menaruh harapan besar terhadap penyusunan RUU TPKS yang pada awal pembahasannya memiliki nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Selain itu, Renny juga menyampaikan, Fraksi Partai Gerindra berharap, kata ‘kekerasan’ dihapus, sehingga menjadi RUU Tindak Pidana Seksual.
“Menurut kami, kata ‘kekerasan’ identik bersifat fisik. Sementara, dalam RUU ini juga mengatur tindak pidana seksual yang bersifat nonfisik. Selain itu, kata ‘kekerasan’ bertendensi bahwa RUU ini lebih mengedepankan penindakan, padahal paradigma pencegahan jauh lebih penting atau setidak-tidaknya harus berimbang antara pencegahan dan penindakan,” urainya.
Kemudian, Fraksi Partai Gerindra merasa perlu mengganti frasa ‘dari kekerasan’ menjadi ‘dari ancaman ketakutan’. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 28 huruf g Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.
Untuk menimbulkan efek jera, sambung Renny, pelaku tindak pidana seksual perlu diberi hukuman yang lebih berat. Maka, frasa ‘dan atau’ pada pasal 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 perlu diganti dengan ‘dan’ saja.
“Artinya, pelaku tindak pidana seksual akan menerima hukuman penjara dan pidana denda. Hal tersebut juga untuk menutup kemungkinan dijatuhkan pidana denda saja,” pungkas legislator daerah pemilihan (Dapil) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) I ini.
Anggota Komisi IV DPR RI ini menilai, perlu perumusan lebih jelas di Pasal 5 mengenai pelecehan seksual berbasis elektronik. Pasalnya, frasa ‘segala sesuatu yang bermuatan seksual’ diganti menjadi ‘pornografi dan/atau pornoaksi’ sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
“Hal tersebut untuk melindungi pihak-pihak yang tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan seksual, agar tidak menjadi sasaran pasal tersebut. Misalnya, pedagang alat kontrasepsi atau obat seks yang biasanya juga mengirim produk contoh yang bermuat seksual kepada calon pembeli melalui media elektronik,” tandas Renny.
Renny menambahkan, pada Pasal 18 dan 43 yang memuat frasa ‘tidak boleh menjustifikasi kesalahan, cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual korban dan atau saksi’, berpotensi melindungi praktik seks menyimpang dan free sex. Fraksi Partai Gerindra berharap, agar frasa ‘cara hidup dan kesusilaan termasuk pengalaman seksual’ dihapus dari kedua pasal tersebut.
Terakhir, Renny menilai, Pasal 66 tentang Peran Serta Keluarga sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana seksual. Sehingga, perlu ada penguatan pasal.
“Berupa reward dan punishment kepada keluarga yang aktif ataupun tidak aktif dalam pencegahan tindak pidana seksual,” ucapnya.
[MBN]