BIMATA.ID, Jakarta- Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan menyesuaikan beberapa iuran dan sejumlah tarif mulai tahun depan.
Mulai dari penyesuaian tarif pajak, rokok, elipiji, hingga tarif listrik. Berbagai kebijakan tersebut akan dilakukan secara bertahap mulai tahun depan.
1. Tarif Listrik Naik
Tarif listrik golongan pelanggan non-subsidi tahun depan diperkirakan akan mengalami kenaikan, setelah pemerintah dan parlemen sepakat menerapkan kembali tarif penyesuaian bagi pelanggan non-subsidi 2022.
Tarif penyesuaian merupakan tarif listrik bagi 13 golongan pelanggan non-subsidi PT PLN (Persero). Mestinya tarif listrik bagi pelanggan non subsidi ini berfluktuasi, bisa naik dan bisa turun setiap tiga bulan disesuaikan dengan tiga faktor yaitu nilai tukar, harga minyak mentah dan inflasi.
Jika ketiga faktor ini meningkat, maka seharusnya tarif listrik non subsidi juga ikut dinaikkan, menyesuaikan realisasi ketiga faktor tersebut. Begitu juga sebaliknya.
Dengan skema tarif penyesuaiaan, maka kenaikan tarif listrik diperkirakan mulai naik dari Rp 18 ribu hingga Rp 101 ribu per bulan sesuai dengan golongan.
2. Harga Elpiji
PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga LPG Nonsubsidi. Kenaikan harga LPG Nonsubsidi itu disesuaikan per daerah atau lebih tepatnya antara Rp 1.600 – Rp 2.600 per Kg.
Berdasarkan hasil penelusuran CNBC Indonesia melalui Pertamina Call Centre 135, diketahui bahwa misalnya, untuk harga LPG tabung 12 kg senilai Rp 163 ribu atau Rp 13.584 per kg untuk wilayah Jakarta tepatnya Jakarta Selatan.
Untuk wilayah Depok misalnya di wilayah Beji Timur, Depok itu harganya sama untuk 12 kg senilai Rp 163 ribu. Sementara itu, untuk di wilayah yang sama, harga LPG tabung 5,5 kg di banderol senilai Rp 76 ribu atau Rp 13.900 per kg.
Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Sub Holding Pertamina Commercial & Trading, Irto Ginting menyampaikan bahwa harga LPG Pertamina masih kompetitif yakni sekitar Rp 11.500 per Kg per 3 November dibandingkan Vietnam sekitar Rp 23.000 per Kg.
Bahkan, jauh lebih rendah dari Filipina yang mencapai Rp 26.000 per Kg, dan Singapura sekitar Rp 31.000 per Kg. Sementara untuk Malaysia dan Thailand harga LPG relatif rendah karena adanya subsidi dari pemerintah masing-masing.
“Saat ini harganya masih dibawah harga keekonomian. Makanya kita coba naikkan secara bertahap,” terang Irto.
3. Tarif Pajak
Kenaikan PPN ini dilakukan pemerintah untuk mengerek penerimaan pajak yang sebelumnya tertekan akibat pandemi Covid-19. Dengan kenaikan PPN ini, maka mulai tahun depan beban masyarakat saat pembelian berbagai jenis kebutuhan akan makin mahal. Begitu juga makan di restoran yang makin mahal.
Sebab, dalam transaksi beban PPN dikenakan kepada konsumen akhir atau pembeli. Sehingga saat pembayaran dilakukan, biaya yang harus dirogoh oleh konsumen makin tinggi.
Akan tetapi pemerintah memastikan beberpa kelompok barang dan jasa seperti sembako hingga jasa pendidikan yang dibutuhkan rakyat miskin tetap tidak dikenakan pajak.
Kemudian, untuk cukai, pemerintah berencana menarik dari objek baru yakni minuman bergula dalam kemasan (MBDK) hingga wadah plastik di tahun depan. Hal ini tertulis dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.
4. Tarif Cukai
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan cukai hasil tembakau pada tahun depan. Rata-rata kenaikan adalah 12% dan khusus untuk SKT ditetapkan berbeda yaitu 4,5%.
“Setelah rapat kabinet, tadi diputuskan kenaikan cukai rata-rata rokok adalah 12% tapi untuk SKT pak Presiden meminta kenaikan 4,5%,” ujar Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers
Kebijakan cukai hasil tembakau menyangkut empat hal. Adalah mengenai pengendalian konsumsi rokok, tenaga kerja, penerimaan negara dan pengawasan barang ilegal.
Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan cukai ini diharapkan bisa membuat harga rokok semakin tidak terjangkau. “Pemerintah berupaya melindungi masyarakat dari konsumsi barang-barang berbahaya seperti rokok,” paparnya.
Apalagi rokok adalah penyebab kematian nomor dua di dunia dan juga penyebab meningkatnya risiko stunting. “Keluarga perokok memiliki anak stunting 5,5% lebih tinggi tinggi dibandingkan tidak merokok. Dan negara yang memiliki tenaga kerja stunting cenderung memiliki pendapatan perkapita lebih rendah,” kata dia.
(ZBP)