BIMATA.ID, Jakarta- Dewan pakar Ikatan Ahli Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra menilai negatif langkah pemerintah memberikan izin impor vaksin kepada perusahaan farmasi swasta menyusul implementasi program vaksinasi booster tahun depan.
Dia menilai, program vaksinasi booster itu tidak relevan dilakukan di tengah capaian vaksinasi dosis pertama dan kedua yang masih relatif rendah jika dibandingkan dengan keseluruhan populasi yang mencapai 270.203.917 orang.
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan per 10 Desember, vaksinasi dosis pertama sudah diberikan kepada 146.939.681 orang atau mencapai 54,55 persen dari keseluruhan populasi. Adapun dosis kedua vaksin sudah rampung diberikan kepada 103.111.771 orang atau 38,16 persen dari total populasi.
“Vaksin booster itu baru pantas dilaksanakan pada pertengahan tahun 2022 dengan asumsi vaksin yang ada sekarang ini mencakup minimal 70 hingga 80 persen dari target 208 juta orang, kalau sekarang dosis kedua baru 47 persen rasanya kurang relevan vaksin booster,” kata Hermawan, Selasa (14/12/2021).
Menurutnya, pelibatan swasta terkait dengan impor vaksin itu juga bakal menimbulkan kesan komersialisasi pada program vaksinasi dosis ketiga itu. Nantinya, kata dia, program itu bakal menimbulkan kesenjangan antara masyarakat yang dapat mengakses vaksin yang ada di tengah pasar.
“Artinya ke depan wacana vaksinasi booster ini seolah-olah untuk dikomersialkan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membayar dan membeli. Pasti tidak semua masyarakat mampu mengakses itu,” kata dia.
(ZBP)