BIMATA.ID, Jakarta – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI), Arsul Sani, menyadari pada 2022 Indonesia memasuki tahun politik. Tensi politik biasanya akan meningkat di dalam maupun di luar lingkaran kekuasaan.
“Demikian juga, ini catatan saya, prediksi saya, karena sampai sekarang meskipun karena pandemi Covid, hemat saya, maka politik identitas kita ini agak menurun. Ini bukan karena kesadaran kebangsaan kita lebih baik, menurut hemat saya tapi karena pandemi Covid,” ucapnya, dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (16/12/2021).
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menerangkan, jika pandemi Covid-19 benar-benar sudah melandai, Omicron dan varian Covid-19 lain tidak ada yang menghebohkan, maka yang harus dicermati dan diwaspadai bersama adalah naiknya suhu politik identitas.
Hal itu harus menjadi pemikiran bersama, khususnya para elite politik dalam merespons potensi tersebut.
“Maka menjadi tugas para elite untuk tidak merespons dinamika dengan respons-respons yang sifatnya emosional, ini saya kira yang penting,” imbuh Arsul.
Karenanya, selain tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berpotensi menimbulkan kontroversi, maka para elite juga perlu belajar dari pengalaman Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019.
Dalam dua Pilpres itu, sebut Arsul, hanya muncul dua pasang calon (paslon) yang membuat politik identitas meningkat secara signifikan dan tajam.
“Karena itu, kalau menurut hemat saya, meskipun itu belum menjadi keputusan resmi, yang harus kita dorong itu tampilnya pasangan calon dalam Pilpres yang tidak hanya 2, minimal 3, ideal lagi lebih dari 3,” terang legislator daerah pemilihan (Dapil) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) X ini.
Berdasarkan perhitungan, lanjut Arsul, dengan presidensial threshold atau ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 20%, masih terbuka kemungkinan untuk memunculkan tiga hingga 4 paslon. Namun, jika lebih dari dua paslon, maka Pilpres akan berlangsung dalam dua putaran yang menimbulkan biaya tinggi.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini pun mengajak, agar semuanya untuk berhitung dibanding dengan Pilpres satu putaran, tetapi ada social cost yang harus ditanggung lebih lama. Bahkan, berpotensi menimbulkan biaya lebih tinggi untuk pengamanan karena tingginya potensi keterbelahan masyarakat.
Di era Kapolri Tito Karnavian, enam bulan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) sudah menghabiskan biaya 70% untuk pengamanan lantaran kerawanan-kerawanan yang timbul.
“Inilah hal-hal yang menurut hemat saya, kita semua, khususnya para elite juga memikirkan. Jangan karena kepentingan-kepentingan praktis kekuasaan dan kemudian kita tidak berhitung,” ungkap Arsul.
[MBN]