BIMATA.ID, Jakarta- Beberapa daerah di Indonesia saat ini sedang dilanda banjir dalam beberapa pekan terakhir. Mulai dari DKI Jakarta, Sintang Kalimantan Barat, Serdang Bedagai (Sergai), Simalungun Sumatera Utara, hingga Gresik Jawa Timur.
Contohnya di Sintang, banjir yang masih terjadi hingga 20 hari lebih itu disebut-sebut diakibatkan oleh deforestasi dan pertambangan.
Sementara itu pemerintah atau BNPB masih kerap mengatakan bahwa banjir disebabkan faktor cuaca, dalam hal ini curah hujan yang tinggi. Salah satunya, BNPB menyebut intensitas hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir di Sintang, Kalimantan Barat.
BNPB beranggapan bahwa intensitas hujan yang tinggi menyebabkan air di wilayah hulu Sungai Kapuas meluap. Sehingga, terjadi banjir.
Awal tahun, ketika banjir juga menerjang sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), MR Karliansyah menyebut penyebabnya adalah anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel.
Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial, Walhi Wahyu Perdana menyebut dalih pemerintah tersebut terlalu menyederhanakan penyebab bencana banjir.
“Saya kira terlalu simplifikasi ketika mengatakan intensitas hujan tinggi sebagai penyebabnya. Kalau begitu harusnya tiap tahun dan tiap empat tahun banjirnya besar dan seintens seperti sekarang, bertahan lebih dari dua pekan. Tapi kan faktualnya tidak seperti itu, artinya ada faktor perubahan lain,” tuturnya
Dirinya menilai, pemerintah terkesan lepas tangan jika selalu menyalahkan curah hujan sebagai penyebab banjir.
“Buat saya pemerintah enggak hanya menggampangkan, menurut kami lepas tanggung jawab,” katanya.
Wahyu kemudian menilai pemerintah sebenarnya bukan tidak tahu penyebab bencana banjir di berbagai wilayah. Wahyu pun menyoroti soal kerusakan ekosistem , khususnya gambut. Sebab, gambut sejatinya memiliki fungsi hidrologis yang tinggi.
Menurutnya, di musim kemarau gambut seperti tumpukan gabus kering yang mudah sekali terbakar, sehingga kerap dibakar dengan tujuan pembukaan lahan.
Secara teori, gambut yang tumbuh secara baik memiliki 13 kali daya tampung massa air. Artinya, jika ekosistem gambut rusak, maka ada 13 kali lipat daya tampung air yang hilang di wilayah tersebut.
“Sehingga menurut kami bukan ketidaktahuan, tapi pengabaian, agak keras kami bilang kalau cara pembukaan lahannya seperti itu, itu merencanakan bencana,” tuturnya.
(ZBP)