BIMATA.ID, Jakarta – Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 29 Oktober 2021.
Aturan itu pun resmi diundangkan setelah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 7 Oktober 2021 lalu.
Dalam salinan UU HPP, Presiden Jokowi menjelaskan, pengundangan aturan tersebut merupakan strategi konsolidasi fiskal yang fokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
Tidak hanya itu, UU HPP juga diharapkan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
“Diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon dan kebijakan berupa program pengungkapan sukarela wajib pajak dalam satu undang-undang secara komprehensif,” bunyi UU Nomo 7 Tahun 2021 tentang HPP, dikutip Bimata.Id, pada Rabu (03/11/2021).
Melalui beleid tersebut, Jokowi mengatur bahwa penyelenggaraan UU HPP berdasarkan asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional.
UU itu bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan nasional secara mandiri, juga untuk mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
Setidaknya terdapat enam kebijakan strategis yang diatur Presiden Jokowi dalam UU HPP, yakni mengubah sejumlah aspek dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh, serta UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan (PPn) atas Barang Mewah.
Kebijakan strategis lainnya adalah pengaturan mengenai pajak karbon, perubahan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, dan pengaturan mengenai program pengungkapan sukarela wajib pajak. Program ini kerap disebut sebagai Tax Amnesty jilid dua.
[MBN]