BIMATA.ID, Makassar – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri dugaan suap oknum pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulsel untuk menutupi temuan dalam laporan keuangan Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020.
Hal ini terungkap saat Jaksa KPK Zaenal Abidin meminta terdakwa Edy Rahmat agar kooperatif untuk memberikan keterangan terkait aliran dana ke BPK Sulsel.
“Tolong kooperatif ya pak Edy. Kami minta tolong kerjaamanya, ada tim penyidik KPK yang akan melakukan pemeriksaan,” kata Zaenal di akhir persidangan pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Makassar, Senin (15/11/2021).
Zaenal mengatakan, kasus dugaan suap pegawai BPK ini dipisahkan dengan perkara kasus suap terhadap Nurdin Abdullah.
“Itu beda peristiwa. Nanti di persidangan baru terungkap faktanya. Beda objek dengan perkara ini,” tambahnya.
Lihat juga: Jaksa KPK Tuntut Nurdin Abdullah 6 Tahun Penjara dan Denda Rp500 Juta
Ia mengaku sedang melakukan pendalaman terhadap fakta yang baru terungkap dalam persidangan kasus tersebut. Sifatnya masih materi, sehingga KPK masih merahasiakan pokok perkaranya.
“Saya gak bisa ungkap sekarang sama teman-teman, tapi kalian bisa mencerna lah soal oknum BPK itu,” terangnya.
Diketahui, aliran dana suap ke oknum pegawai BPK Sulsel diungkap Edy Rahmat dalam persidangan beberapa pekan sebelumnya.
Edy mengaku, pernah meminta uang kepada 11 kontraktor dengan nilai keseluruhan mencapai Rp3,2 miliar. Uang ini diserahkan ke oknun pegawai BPK untuk menutupi hasil temuan terhadap laporan keuangan Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020.
Kontraktor tersebut masing-masing; Jhon Theodore Rp525 juta, Petrus Yalim Rp445 juta, Haji Momo Rp250 juta, Andi Kemal Rp479 juta, Yusuf Rombe Rp525 juta.
Kemudian Robert Wijoyo Rp58 juta, Hendrik Rp395 juta, Lukito Rp64 juta, Tiong Rp150 juta, Rudi Moha Rp200 juta, dan Karaeng Kodeng Rp150 juta.
Jumlah yang terkumpul, kata Edy Rp3,241 miliar. Uang itu kemudian diserahkan ke pegawai BPK, Gilang Gumilang.
Edy mengaku awalnya Gilang menghubunginya pada Desember 2021. Mereka bertemu di Hotel Teras Kita, Jalan AP Pettarani, Makassar.
Kepada Edy, Gilang mengatakan bahwa BPK akan melakukan pemeriksaan di Pemprov Sulsel pada Januari 2021. Jika ada pengusaha yang ingin berpartisipasi, bisa menyetor satu persen dari nilai paket proyek yang dikerjakan.
Nantinya, BPK akan menghilangkan hasil temuan pekerjaan tersebut. Imbalannya, Edy mendapat 10 persen dari pungutan itu.
Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Edy. Ia menghubungi 11 kontraktor tersebut, bahkan melaporkan hal ini ke Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.
“Saya pernah sampaikan ke pak Nurdin bahwa ada permintaan BPK. Dia minta satu persen. Dia cuma bilang silakan kalau ada yang mau,” katanya.
Edy mengaku uang yang disetor oleh kontraktor atas hitungan mereka sendiri. Edy tinggal menerima selama Januari hingga Februari 2021.
“Hitungannya nilai kontrak dikurangi dari nilai PPN/PPh. Mereka kontraktor yang hitung sendiri,” ujarnya.
Dari uang Rp3,2 miliar itu, Edy mendapat Rp320 juta lebih. Sisanya Rp2,8 miliar kemudian diserahkan ke Gilang.
“Saya jemput Gilang di Kantor BPK baru antar masuk ke asramanya. Disitu saya serahkan,” tutur Edy.
Majelis hakim kemudian mempertegas, kenapa uang itu harus diserahkan ke Gilang? bukan ke instansi BPK?.
Edy menjelaskan, bahwa Gilang yang menghubunginya dari awal. Ia juga mengira Gilang adalah auditor utama. Belakangan diketahui ternyata bukan dia yang memeriksa.
“Saat pemeriksaan, ternyata bukan dia yang masuk. Ada dua Gilang itu auditor, tapi Gilang yang terima itu yang dihadirkan di persidangan,” beber Edy.
Gilang sendiri juga sempat dihadirkan di persidangan. Namun, ia bersumpah dan membantah semua keterangan Edy tersebut.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Makassar Ibrahim Palino kemudian meminta KPK agar dugaan aliran dana untuk oknum pegawai di BPK tersebut bisa diusut.
(HW)