BIMATA.ID, Jakarta- Pemerintah dan DPR diminta merevisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Aturan itu dianggap kurang galak membuat pejabat negara patuh dengan penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
“Kita mendesak DPR dan pemerintah menggodok aturan sanksi yang dapat memaksa penyelenggara negara patuh melaporkan kekayaan,” kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, Kamis (11/11/2021).
Dirinya meminta sanksi tegas untuk pejabat yang telat maupun tidak menyerahkan LHKPN. Aturan yang ada saat ini hanya memberikan sanksi administratif bagi pejabat yang telat maupun tidak menyerahkan LHKPN-nya.
“Sudah saatnya pula menghadirkan aturan pembuktian terbalik bagi penyelenggara negara,” katanya.
Dengan aturan yang tegas, pejabat di Indonesia tidak lagi meremehkan penyerahan LHKPN. Langkah itu diyakini bakal membuat pejabat ketar-ketir saat waktu penyerahan LHKPN sudah mepet.
Firli juga meminta pejabat untuk tidak meremehkan penyerahan LHKPN. Dia menegaskan LHKPN merupakan salah satu upaya pemantauan masyarakat dan KPK dalam menutup celah korupsi di Indonesia.
“Ketidakpatuhan melaporkan harta kekayaan bagi pejabat publik merupakan salah satu mental korup yang harus dikikis!” katanya.
KPK mencatat, banyak pejabat di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Sebanyak 81,54 Pejabat BUMD di Indonesia belum serahkan kewajiban itu ke KPK.
“Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri RI tahun 2020 terdapat total 1.094 BUMD. Dari data tersebut, KPK mencatat 202 atau sekitar 18,46 persen BUMD yang telah terdaftar LHKPN,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang pencegahan Ipi, Maryati, Senin (08/11/2021).
KPK meminta pejabat BUMD segera menyerahkan LHKPN dan tidak meremehkan penyerahan data kekayaan itu.
(ZBP)