BIMATA.ID, Jakarta- Sistem pengelolaan kesehatan ikan mampu mengatasi berbagai permasalahan perikanan budidaya, khususnya serangan penyakit ikan yang saat ini dirasakan semakin kompleks dan meresahkan. Sehingga, harus dilakukan secara sinergis dan bersama-sama antara Pemerintah dan seluruh stakeholder.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Tb Haeru Rahayu saat memberikan sambutan pada acara Pelatihan Farmakologi Terapi dan Peresepan pada Ikan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Kagama Kedokteran Hewan (GAMAVET) dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Senin (8/11/2021).
“Sebagai negara yang memiliki potensi perikanan budidaya yang besar, maka Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan agar berbagai jenis penyakit yang dapat mengancam usaha perikanan budidaya agar tidak masuk dan menyebar ke dalam wilayah RI,” kata Tebe.
Menurut Tebe, implementasi kebijakan dan penguasaan pengetahuan dalam pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan serta keterampilan dalam mengenal dan melakukan diagnosa penyakit ikan. Kemudian, mengelola lingkungan budidaya dan penanganan penyakit ikan menjadi faktor penting dalam mewujudkan keberhasilan produksi perikanan budidaya yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pembudidaya.
“KKP telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait pengendalian penyakit ikan, diantaranya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Tindakan Tanggap Darurat dan Pengendalian Penyakit Ikan. Kemudian, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Jenis Penyakit Ikan yang Berpotensi Menjadi Wabah Penyakit Ikan,” tutur Tebe.
Ia juga menekankan dalam sistem pengelolaan sumber daya perikanan budidaya yang berkelanjutan tidak akan terlepas dari peranan sistem pengelolaan kesehatan ikan yang didukung oleh upaya penataan kawasan yang terintegrasi dan penerapan biosekuriti yang ketat dan konsisten.
“Kita juga harus mewaspadai munculnya berbagai jenis penyakit eksotik yang dapat mengancam usaha perikanan budidaya,” tambahnya. Contoh jenis penyakit eksotik di antaranya tilapia lake virus (TiLV), acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND), covert mortality nodavirus (CMNV) dan decapod iridescent virus-1 (DIV-1).
Menyinggung penggunaan antibiotik pada kegiatan budidaya, Tebe menyebutkan, “Penggunaan antibiotik tidak boleh dilakukan secara terus-menerus dan tidak bertanggung jawab karena dapat menyebabkan residu dan resistensi anti mikroba. Nah di sini perlu peranan dokter hewan untuk mengawasi ini di lapangan”.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Obat Ikan menyebutkan bahwa penggunaan obat keras, seperti antibiotik, vaksin ikan dan lainnya harus menggunakan resep dokter hewan dan di bawah pengawasan dokter hewan.
Sebagai informasi, dokter hewan di lingkup KKP mempunyai peranan dalam pengendalian penyakit ikan melalui kegiatan surveilan, monitoring penyakit ikan, analisis risiko, penanganan penyakit dan tanggap darurat. Kemudian, melakukan kegiatan pengendalian resistensi anti mikroba, penatagunaan anti mikroba, pengendalian residu, penyelenggaraan kesejahteraan ikan, dan pengawasan mutu produk perikanan.
“Saya mengharapkan agar selalu terjalin hubungan yang harmonis dan sinergis antara Pemerintah dan akademisi untuk bersama-sama membangun informasi dan mengomunikasikan hasil-hasil inovasi terkait pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya,” tutup Tebe.
Senada dengan Tebe, Dekan FKH UGM, Teguh Budipitojo mengatakan sistem pengelolaan kesehatan ikan harus dilakukan secara berkelanjutan karena saat ini subsektor perikanan budidaya diharapkan menjadi sektor basis bagi pemenuhan pangan masyarakat dunia.
“Riset menghasilkan landasan-landasan ilmiah bagi KKP. Ini menjadi kunci keberhasilan penerapan sistem pengelolaan kesehatan ikan berkelanjutan di Indonesia,” pungkas Teguh.
Menurut Teguh, KKP dapat bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi untuk menghasilkan rumusan pelaksanaan kegiatan riset yang komprehensif dari hulu hingga hilir sehingga mampu mengantisipasi permasalahan dan memberikan solusi dalam pembangunan subsektor perikanan budidaya khususnya dalam hal kawasan dan kesehatan ikan.
Sistem pengelolaan kesehatan ikan pada subsektor perikanan budidaya merupakan bagian dari konsep ekonomi biru yang saat ini menjadi fokus dalam terobosan-terobosan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa konsep ekonomi biru dilaksanakan melalui optimalisasi sumber daya perikanan budidaya secara produktif, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang memperhatikan tiga aspek yaitu inovasi teknologi, ekonomi dan ekologi.