BIMATA.ID, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Christina Aryani menyatakan, pihaknya akan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP).
Hal tersebut dilakukan sebelum UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) direvisi.
“Kami sepakat bahwa revisi UU 12 Tahun 2011 akan menjadi jalan terbaik untuk mengadopsi teknis aplikasi metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sekaligus menjadi kesempatan untuk memikirkan solusi permasalahan tumpang tindih peraturan dan ketidaksesuaian materi muatan,” kata Christina, Senin (29/11/2021).
Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) ini menyampaikan, dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI terkait UU Ciptaker dan PPP memang menjadi sorotan. Metode omnibus law dalam UU Ciptaker ditolak oleh MK RI.
Christina menerangkan, metode omnibus law masih menjadi semangat utama UU Ciptaker, karenanya UU PPP harus direvisi.
“Karena mekanisme omnibus law belum dimuat dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” terangnya.
Secara substansi, lanjut Christina, Indonesia memerlukan metode omnibus law. Sebab, metode tersebut menjadi salah satu cara untuk melakukan pembenahan peraturan perundang-undangan. Utamanya, menyangkut masalah tumpang-tindih peraturan, ketidaksesuaian materi muatan, hyper regulasi, sampai pada problem ego sektoral.
Christina menyatakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus law, bukanlah barang baru di Indonesia. Metode ini sudah diterapkan sejak lama.
“Sebagai contoh, untuk menyederhanakan sekitar 7.000 peraturan peninggalan Hindia Belanda menjadi sekitar 400 peraturan,” sambung Anggota Komisi I DPR RI ini.
Akan tetapi, metode yang digunakan itu belum diperkenalkan ke publik sebagai omnibus law. Praktik metode omnibus law memang baru benar-benar dikenal publik, ketika proses legislasi dalam pembentukan UU Ciptaker dimulai.
Legislator daerah pemilihan (Dapil) Provinsi DKI Jakarta II ini mengemukakan, hingga kini sudah lahir setidaknya empat peraturan perundang-undangan yang disusun menggunakan metode tersebut.
Dimulai dari UU Ciptaker, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, Peraturan Pemrintah (PP) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Kemudahan Berusaha, dan Permenkeu 18/PMK.03/2021.
“Seharusnya waktu 2 tahun yang diberikan MK untuk merevisi UU Cipta Kerja, sudah bisa sekalian untuk melakukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Christina.
[MBN]