BIMATA.ID, Jakarta – Pengamat politik, Jajat Nurjaman menilai, timbulnya pro dan kontra terhadap wacana pencalonan Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 mendatang merupakan hal yang wajar.
Pasalnya, sikap politik Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tersebut bisa dikatakan sangat sulit ditebak dan cenderung tidak biasa.
“Kita bisa lihat dalam beberapa waktu kebelakang, berbagai keputusan politik yang dilakukan Prabowo sangat sulit ditebak. Bahkan, nama-nama besar seperti Jokowi-Ahok, Ridwan Kamil, hingga Anies-Sandi tidak lepas dari peran tangan dingin politik Prabowo Subianto,” ucapnya, melalui keterangan tertulis kepada redaksi Bimata.Id, Selasa (19/10/2021).
“Jika kali ini ada keputusan untuk kembali nyapres tentu bukanlah hal yang aneh, mengingat sejak awal memang berambisi untuk menjadi Presiden,” tambah Jajat.
Direktur Eksekutif Nurjaman Center Indonesia Demokrasi (NCID) ini menjelaskan, jika pencalonan Prabowo menimbulkan kontra lantaran dikaitkan dengan kondisi mantan pendukungnya seperti Habib Rizieq Shihab (HRS), maka tidak lebih hanya merupakan upaya cocokologi untuk memanfaatkan momen.
“Kita bisa lihat bagaimana rekonsiliasi antara Prabowo dan Jokowi ini sudah terjadi jauh sebelum kepulangan Habib Rizieq. Artinya, segala urusan politik terkait dengan Pilpres ini sudah selesai,” jelas Jajat.
Pasca kepulangan HRS ke Indonesia, ungkap Jajat, secara terbuka eks Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu sudah menyampaikan sikap politiknya kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sementara, terkait kasus yang melibatkan HRS sudah melalui tahapan proses hukum sehingga bisa dikatakan tidak ada kaitannya dengan kepentingan Prabowo. Sebab, secara politik memang dianggap sudah selesai.
“Pro dan kontra dalam demokrasi ini tentu merupakan hal yang lumrah terjadi. Namun, jika opini yang dibangun ini sudah mengarah kepada penghasutan yang secara tidak langsung agar membenci Prabowo tidaklah tepat. Karena, esensi dalam demokrasi ini siapa pun berhak menentukan pilihan politiknya, baik sebagai dukungan ataupun menjadi kandidat,” ungkapnya.
“Saya kira Pilpres yang masih sangat jauh ini rasanya kurang elok, sehingga hanya menimbulkan pengkotak-kotakan di masyarakat. Namun, sekali lagi jika upaya ini terus berlangsung patut diduga mempunyai motif tertentu untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya,” tutup Jajat.
[MBN]