Opini

Menhan Prabowo, Sikap Lunak, Dan Kisruh Laut Natuna (Part 1)

Penulis : Ti Kama

BIMATA.ID, OPINI — Jika ada hal yang harus dibicarakan dengan serius dalam minggu ini, saya kira itu adalah soal pertahanan nasional kita. Iya, pertahanan nasional Indonesia!

Beberapa hari yang lalu kisruh soal Natuna kembali mencuat ke permukaan. Pasalnya, dari laporan Badan Keamanan Laut (Bakamla) telah mendeteksi sekitar 5.204 kapal Cina yang wara-wiri di perairan laut Natuna sejak jumat pekan yang lalu. (CNBC.Indonesia)

Sebelumnya, beberapa media ikut memberitakan soal keberadaan kapal Perang China yang berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Tentu saja berita ini bukan hanya sekadar isu biasa. Ini adalah isu yang serius karena menyangkut kedaulatan dan keamanan negara. Lantas siapa yang harus kita soroti? Atau siapa nanti yang akan dijadikan “bantalan” terkait isu ini? 

Jauh sebelum membicarakan kedua hal tersebut, saya punya keinginan untuk mengajak saudara pembaca untuk flashback pada kejadian di awal tahun 2020. Saat itu kisruh Natuna kembali mencuat dan yang menjadi sorotan utama adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. 

Ya, lalu siapa lagi kalau bukan beliau yang di awal tahun menjabat sudah dibully mati-matian oleh kelompok yang mengaku “oposisi’ itu. 

Sebenarnya ada rasa gelinya jika yang harus disoroti melulu adalah Menhan Prabowo. Lebih-lebih yang menyoroti perihal itu adalah golongan yang nyaris tak punya kerjaan lain selain membikin kisruh dibalik kata “oposisinya”. 

Saya masih ingat betul dengan sikap lunak Menhan Prabowo di awal tahun 2020, ketika Natuna kembali memanas. Perkaranya juga perkara yang sama, tidak lain dan tidak bukan adalah kapal perang China yang wara-wiri melintas di perairan Natuna. 

Sejujurnya sebagai masyarakat biasa yang tidak paham soal pertahanan nasional, saya turut merasa ada keanehan saat itu yang terjadi dengan sikap Prabowo. Seorang Prabowo kok bisa melunak dengan Cina? Padahal Cina sendiri sudah berulang kali melakukan “pelanggaran” yang sama.

Tapi, tetap saja Prabowo adalah Prabowo. Kita tidak serta merta mengartikan sikap lunaknya pada waktu itu sebagai sikap diam dan tidak berbuat apa-apa. Sebaliknya dibalik sikap lunak seorang Prabowo ada pola dan tak-tik yang sedang ia rencanakan. Prabowo memang sangat hati-hati soal urusan perseteruan dengan Cina. Prabowo tidak ingin terkesan keras dan dipersepsikan menggunakan jalur militer dalam upaya penyelesaiannya agar hubungan diplomatik jangka panjang antara Indonesia dengan Cina tidak terganggu.

Toh dalam aspek koordinasi internal pun, seingat saya, Prabowo tetap melakukan koordinasi dengan TNI, Polri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) yang notabenenya adalah perangkat negara yang berperan penting dalam menjaga keamanan perairan laut Natuna — Indonesia. 

Menariknya, di balik sikap lunak Prabowo saat itu, saya kira ada perhitungan yang pas untuk tidak menggunakan jalur militeristik untuk menyelesaikan kisruh Natuna dengan Cina. Kenapa?

Dalam situs Globalfirepower.com mencatat bahwa kekuatan militer Indonesia berada dalam peringkat 16 dunia. Indonesia memiliki personel militer sekitar 800 ribu orang. Itu pun terdiri dari 400 ribu personel aktif dan 400 ribu personel cadangan. Namun demikian, jika keadaan mengharuskan maka ada 108 juta penduduk yang akan siap berperang.

Sementara di sisi lain, Cina sebagai negara terkuat peringkat ketiga dunia yang memiliki 2,6 juta personel militernya yang terdiri dari 2,6 juta personel aktif dan 501 ribu personel cadangan. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh Cina jika sewaktu-waktu keadaan mengharuskan untuk berperang. Sebanyak 621 juta jiwa penduduknya tentu saja akan siap berperang. Belum lagi perbandingan alutsista kita yang terlampau lebih sedikit ketimbang negara tirai bambu itu. 

Lantas jika harus dipaksakan untuk tegas dan tidak bersikap lunak, apakah negara kita telah benar-benar siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi?

Maksud saya adalah di balik sikap lunak seorang Prabowo saat itu ada hal yang harus dilihat dengan jelas, ada hal yang harus diperhitungkan dengan detail. Dan itu tidak lain dan tidak bukan adalah kekuatan militer kita yang diukur dari jumlah dan alutsistanya kalah jauh dengan Cina. 

Maka tidaklah heran jika sikap lunak seorang Menhan Prabowo pada saat itu adalah langkah tepat untuk menyikapi kekisruhan yang terjadi di Natuna saat itu. Dan jika anda adalah salah satu dari sekian banyak yang merasa heran dengan sikap Prabowo saat itu, maka kita termasuk orang yang sama. Sama-sama memaknai sikap lunak seorang Prabowo Subianto.

Terkahir, yang terpenting dan menjadi catatan kita semua bahwa kisruh di perairan laut Natuna adalah kekisruhan yang berulang kali terjadi, bukankah begitu? Maka berhati-hatilah dengan kelompok yang mengaku ini dan itu. Bisa jadi mereka yang menyebabkan kekisruhan itu berulang kali di mata masyarakat Indonesia.

Sekian

Sampai bertemu pada bagian kedua catatan ini.

 

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close