BIMATA.ID, Jakarta – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Arsul Sani, menyoroti budaya hukum di Indonesia yang menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelebihan kapasitas.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menyampaikan, Lapas penuh diisi oleh narapidana kasus narkotika. Sebagian besar merupakan penyalahguna murni yang seharusnya menjalani rehabilitasi.
“Politik hukum pemidanaan kita harus berubah. Kemudian penegakan hukum kita harus juga berubah. Berubah termasuk budaya hukumnya. Penghuni Lapas kita menjadi warga binaan mayoritas adalah terpidana kasus narkoba, yang terpidana kasus narkoba sebagian besar penyalahguna murni,” ucap Arsul, Rabu (22/09/2021).
Arsul menyebut, Pasal 127 Undang-Undang (UU) Narkotika mengatur korban penyalahgunaan narkoba wajib menjalani rehabilitasi. Namun pada kenyataannya, masih ada inkonsistensi penegakan hukum dari aparat. Misalnya, yang mendapat rehabilitasi hanya untuk figur dari kelas dan kalangan tertentu.
“Tapi dalam kenyataannya, kita masih melihat kalau katakan terkait figur tertentu dari kelas tertentu, maka dilaksanakan program rehab,” pungkasnya.
Legislator daerah pemilihan (Dapil) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) X ini menilai, yang terjadi penegak hukum dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Narkotika Nasional (BNN), atau Kejaksaan, kerap memidana penyalahguna narkotika dan dikirim ke penjara, sehingga Lapas menjadi penuh.
“Ujungnya masih tradisional, masih konvensional mengirim para terpidana kasus narkotika yang notabene sebagai penyalahguna ke lembaga pemasyarakatan, itulah akar masalah dari over kapasitas yang kita alami. Dan ini sudah bertahun-tahun kita ketahui,” tandas Arsul.
Maka dari itu, lanjut Arsul, salah satu memecahkan masalah Lapas kelebihan kapasitas adalah dengan koordinasi kelembagaan penegak hukum menerapkan UU Narkotika secara konsisten.
“Tapi kayaknya sinergitas dan koordinasi kelembagaan kita belum melahirkan satu tekad bagaimana mengatasi ini, bagaimana kita menerapkan secara murni dan konsisten Pasal 127 UU Narkotika itu,” jelas Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI ini.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini mengungkapkan, penambahan jumlah Lapas juga bisa menjadi solusi, apabila masalah sistemik mengenai budaya hukum dapat diselesaikan.
“Hemat saya kalau hanya mengandalkan solusi berbasis penambahan kapasitas Lapas, maka ini tidak akan terpecahkan. Kenapa? Karena penambahan jumlah Lapas ada keterbatasan anggaran ini seperti deret hitung. Sedangkan penambahan warga binaan itu seperti deret ukur, jadi tidak akan terkejar,” ungkapnya.
[MBN]