BeritaNasionalOpiniPolitik

Siapa Cawapres yang Paling Cocok Dampingi Prabowo?

BIMATA.ID, Jakarta – Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang saat ini juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI belakangan ini menjadi sorotan publik karena citranya di dunia politik semakin baik. Alih-alih mendapat dukungan yang kuat dari berbagai kalangan untuk maju menjadi Presiden RI 2024 mendatang, Prabowo harus tepat memilih Calon Wakil Presiden agar tidak melewatkan kesempatan yang sangat berharga.

Berdasarkan hasil survei, para pendukung Prabowo Subianto cenderung semakin tersegmentasi dan terkonsentrasi pada kalangan berbasis identitas sosial tertentu. Guna memperluas dukungan, diperlukan sosok calon wakil presiden yang mampu menutup celah kekurangannya itu.

Selalu menjadi sosok paling atas keterpilihannya dalam survei preferensi calon presiden tidak otomatis langkah Prabowo tergolong aman dari para pesaing politiknya. Apalagi, hasil perbandingan survei menyimpulkan jika posisi keterpilihannya tergolong stagnan. Penambahan dukungan sejauh ini tidak signifikan terjadi.

Begitu pula, hasil survei mengungkapkan pola konsentrasi dukungan yang tidak berubah. Basis pendukungnya, relatif sama. Tidak terjadinya perluasan basis dukungan semakin menempatkan posisi politik pendukungnya yang tersegmentasi pada kalangan tertentu.

Mengkaji sebaran wilayah domisili para pendukungnya, misalnya, hasil pemilu presiden  menunjukkan konsentrasi dukungan pada wilayah di luar Jawa, seperti sebagian besar provinsi di Sumatera (Aceh, Sumbar, Riau), Jawa Barat, dan NTB.  Hasil survei terbaru, April 2021 lalu masih menunjukkan kecenderungan konsentrasi dukungan yang lebih besar dari luar Jawa. Padahal, distribusi pemilih justru menempatkan Pulau Jawa terbanyak jumlah pemilihnya dibandingkan kawasan luar Jawa.

Pada sisi lain, pemilih Prabowo juga masih terkonsentrasi pada kalangan laki-laki. Ia kurang banyak didukung oleh kalangan perempuan. Dari sisi usia, kecenderungan berusia muda dan terlebih pada kalangan yang berusia di bawah 23 tahun ataupun mereka yang terkategorikan sebagai pemilih mula, menjadi kelebihan bagi Prabowo. Kondisi demikian tampak konsisten, sejak survei menjelang Pemilu 2019 lalu hingga saat ini.

Konsentrasi yang tidak kurang mencolok lainnya, dari sisi identitas keagamaan. Hasil survei menunjukkan dukungan kepada Prabowo terkonsentrasi pada kalangan beragama Islam, khususnya mereka yang mengaku berafiliasi di luar Nahdlatul Ulama. Sementara, dari sisi afiliasi partai politik, selain terkonsentrasi pada para pemilih Gerindra, Prabowo juga banyak didukung oleh para pemilih PKS, PAN, Golkar, dan Demokrat.

Pola konsentrasi dan stagnasi dukungan semacam ini tidak cukup menjaminkan langkah politiknya dalam persaingan kepresidenan. Pengalaman dari berbagai pemilu presiden yang ia ikuti menunjukkan pula sisi keterbatasan itu.

Pengalaman pertama saat ia menjadi calon wakil presiden bersama calon presiden Megawati Soekarnoputri di Pemilu 2009. Pasangan Megawati-Prabowo, tergolong kuat dari sisi ideologi politik. Kedua sosok merupakan pimpinan partai politik nasionalis yang signifikan dalam perolehan suara pemilu.

Pasangan ini juga perpaduan identitas sosial yang serasi,  perempuan dan laki-laki. Kendati berasal dari Jawa, namun perhatian kedua leluhur mereka, baik Soekarno maupun Soemitro Djodjohadikusumo, membekas pada berbagai wilayah di luar Jawa.

Sayangnya, kekuatan pasangan ini masih terkalahkan dengan kekuatan petahana Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Megawati-Prabowo hanya mampu mendulang sekitar 32,5 juta suara pemilih. Jumlah tersebut hanya 26,79 persen dari total pemilih.

Hasil survei sebelum pemilu sebenarnya sudah mengindikasikan kekalahan mereka. Kekuatan figur Presiden Yudhoyono saat itu, dan beberapa sisi lemah ataupun resistensi yang sebelumnya sudah terbentuk pada Megawati dan Prabowo, menjadi alasan terbesar kekalahan mereka. Kedua pasangan ini hanya berhasil membangun kekuatan pada para pendukung loyalnya (strong voter) saja, dan tidak mampu memengaruhi para pemilih mengambang (swing voter) yang terbilang besar jumlahnya.

Pada Pemilu Presiden 2014, dengan kelengkapan kapital yang jauh lebih besar, Prabowo bersama pasangannya, Hatta Rajasa, bersaing dengan pasangan Jokowi-Kalla. Pilihan terhadap Hatta Rajasa, terbilang problematik. Pasangannya itu, sekalipun menjadi ketua PAN dan dukungan politik dari partai penguasa, Demokrat, menjabat pos kementerian, dan berbesan dengan Presiden Yudhoyono, kurang dalam popularitas ataupun elektabilitas. Hatta Rajasa, secara geografis, dapat pula menjadi representasi dukungan pemilih luar Jawa.

Namun, Prabowo-Hatta terkalahkan oleh Jokowi-Kalla, pasangan yang serasi terkombinasikan. Jokowi sosok yang tengah meroket popularitasnya, berlatar belakang Jawa dan dukungan PDI P dengan basis pendukung kaum nasionalis di Jawa, menjadi kekuatan terbesar.

Kehadiran Kalla dengan basis dukungan pemilih di luar Jawa, khususnya Sulawesi, semakin melengkapi. Saat itu, Prabowo-Hatta hanya mampu meraih sekitar 62,5 juta suara pemilih (46,85 persen).  Hasil survei sebelum pemilu juga mengonfirmasikan kemenangan Jokowi-Kalla terhadap Prabowo-Hatta.

Pada pemilu berikutnya, Prabowo memilih berpasangan dengan Sandiaga Uno, sosok muda yang juga berasal dari Gerindra. Sebelumnya, dalam Pilkada DKI 2017, Sandiaga yang dipasangkan sebagai wakil Anies Baswedan, berhasil memenangkan pilkada.

Sosoknya saat itu semakin tenar, menjadi salah satu ikon kaum muda, pengusaha sukses yang masuk dalam politik. Sandiaga yang berlatar turunan dari luar Jawa, paduan Sumatera (Riau) dan Sulawesi (Gorontalo), pun memiliki kelengkapan modal ekonomi yang memadai dalam pertarungan pemilu.

Kedua sosok, Prabowo-Sandiaga mampu memperbanyak dukungan. Hasil pemilu menunjukkan, sekitar 68,6 juta pemilih mereka raih. Akan tetapi, jumlah tersebut masih di bawah perolehan pasangan Jokowi-Ma’ruf, pasangan petahana dan ulama.

Dengan semua pengalamannya itu, Prabowo memang berhasil memperluas suara dukungan pemilih. Akan tetapi, tidak cukup baginya memenangkan pemilu. Itulah mengapa, jika ia memang masih berminat dalam persaingan pemilu mendatang, persoalan sosok calon wakil presiden menjadi krusial baginya. Siapakah sosok yang paling tepat disandingkan sebagai  cawapresnya?

Apabila hasil survei yang dijadikan rujukan, tentu saja sisi-sisi kekurangan yang tidak dimiliki oleh Prabowo yang menjadi acuan. Artinya, bercermin pada latar belakang pemilihnya selama ini, Prabowo memiliki celah dalam dukungan dari mereka yang secara sosio demografis bermukim di Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur), kalangan pemilih berjenis kelamin perempuan, dan secara politik berlatar belakang pemilih partai-partai berbasis pendukung yang kuat di Jawa, khususnya PDI P. Begitu pula dari sisi dukungan, mayoritas pendukungnya cenderung menilai tidak puas kinerja pemerintahan Jokowi.

Dengan celah tersebut, menjadi semakin lengkap kekuatan Prabowo jika ia berpasangan dengan para tokoh yang mampu merepresentasikan kekurangan pemilihnya itu. Sebaliknya, akan menjadi semakin lemah jika ia berpasangan dengan sosok yang memang masih sejenis dengan para pendukungnya.

Setidaknya, terdapat empat variabel politik yang berkait dengan keseimbangan kekuatan para pendukungnya. Pertama, terkait dengan besaran dukungan potensial yang dimiliki oleh masing-masing tokoh. Dalam hal ini, besar kecilnya preferensi menjadi indikator.

Semakin besar preferensi pendukungnya, maka semakin besar pula potensi tambahan yang mungkin Prabowo dapat kan dari tokoh tersebut. Berdasarkan indikator ini, hasil survei menunjukkan, hanya dua tokoh, yaitu Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang paling signifikan terbesar proporsi keterpilihannya.

Sosok lainnya, seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Agus Yudhoyono, ataupun Tri Rismaharini terbilang menengah. Selain tokoh-tokoh tersebut, masih banyak lagi tokoh lain dengan preferensi yang kurang signifikan.

Kedua, terkait dengan domisili pendukung. Berdasarkan sebaran pendukung Prabowo, terlihat kecenderungan berdomisili di Luar Jawa. Begitu pula, dalam pemilu sebelum-sebelumnya, dukungan dari pemilih luar Jawa signifikan pada Prabowo dan sebaliknya di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, kurang kuat. Dengan kondisi demikian, maka menjadi suatu keseimbangan kekuatan jika pasangan calon wakil presidennya tergolong memiliki penguasaan pemilih di Jawa.

Berdasarkan penelusuran, hanya Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini yang paling relevan disandingkan. Ganjar dan Risma sama-sama memiliki dukungan yang terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ridwan Kamil sebenarnya juga terkonsentrasi di Jawa, namun lebih dominan di Jawa Barat, wilayah yang juga dikuasai oleh pendukung Prabowo. Sementara sosok lainnya, seperti Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Agus Yudhoyono, lebih terkonsentrasi di Luar Jawa, wilayah yang juga dikuasai Prabowo.

Ketiga, terkait dengan latar belakang partai politik para pendukung. Celah dukungan terhadap Prabowo terdapat pada para pemilih yang berafiliasi politik pada partai-partai pendukung pemerintahan. Secara lebih khusus lagi, PDI P.

Sejauh ini, basis dukungan padanya terkonsentrasi pada partai-partai yang berseberangan dalam pemilu lalu, seperti Gerindra, PKS, ataupun Demokrat. Itulah mengapa, kepentingan untuk memilih sosok yang mampu merepresentasikan kekuatan politik PDIP menjadi penting.

Berdasarkan pada kriteria semacam ini, maka sosok seperti Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini yang menjadi kader PDIP dan terbukti didukung paling banyak oleh mereka yang mengaku memilih PDIP menjadi signifikan. Selain kedua sosok tersebut, nama Ridwan Kamil dengan pendukung pemilih PDIP juga tampak signifikan.

Sosok lainnya, seperti Agus Yudhoyono juga didukung oleh sebagian pemilih PDIP, namun dominan tetap Demokrat. Sandiaga Uno dan Anies Baswedan, relatif mirip dengan para pendukung Prabowo, yaitu pemilih Gerindra, PKS, Demokrat, walaupun dengan besaran proporsi yang berbeda.

Keempat, terkait dengan latar belakang politik pendukung yang lebih dikhususkan pada penilaian mereka terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Variabel ini menjadi penting dengan pertimbangan jika selama ini konsentrasi pendukung Prabowo lebih dominan pada kalangan yang beroposisi sikap dengan pemerintahan Jokowi. Perluasan dukungan pada Prabowo hanya dapat terjadi jika terdapat tambahan dukungan pemilih dari simpatisan Jokowi.

Berlandaskan pada pertimbangan semacam itu, maka umumnya setiap sosok, kecuali Anies Baswedan, memiliki relevansi dipasangkan dengan Prabowo. Anies menjadi satu-satunya sosok dimana bagian terbesar para pendukungnya berseberangan sikap dalam menilai kinerja kepemimpinan Jokowi. Di antara semua sosok yang relevan, tampaknya para pemilih Ganjar Pranowo yang paling besar. Sebanyak 83 persen pemilihnya menyatakan puas terhadap kinerja Jokowi.

Selain keempat variabel di atas, terdapat pula beberapa pertimbangan sosio demografi lainnya yang layak ditelusuri. Keseimbangan jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan, ataupun kelas ekonomi pemilih. Akan tetapi, dengan keempat faktor determinan di atas, sudah cukup layak digunakan sebagai alternatif pilihan calon wakil presiden. Terkait dengan hal tersebut, maka alternatif terbesar pada Ganjar Pranowo.

Selain Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini juga terbilang besar. Dari keempat variabel yang dijadikan pertimbangan hanya besaran preferensi padanya yang relatif kecil. Namun jika ditambahkan variable jenis kelamin, maka keseimbangan keterpilihannya menjadi semakin besar.

Selain Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini, sosok Ridwan Kamil juga memadai. Persoalan tampak sebatas pada persinggungan dukungan yang terkonsentrasi di Jawa Barat. Selebihnya, menjadi pengimbang bagi kekuatan Prabowo.

Semua alternatif pilihan calon wakil presiden ini terangkai sebatas pada hasil survei preferensi publik. Tidak serta-merta inilah potret paling riil dari kekuatan dukungan Prabowo sesungguhnya dan juga kekuatan tokoh-tokoh politik yang terkait. Bagaimana pun,  survei preferensi semacam ini bersifat dinamis yang potensial berubah sejalan dengan dinamika politik yang terjadi hingga pemilu mendatang.

Begitu pula, di luar hasil survei yang berbasis preferensi publik, masih banyak pula variabel-variabel penentu keseimbangan kekuatan pada pasangan capres dan cawapres di negeri ini. Dinamika partai politik dalam penentuan calon presiden, kombinasi kekuatan capres dan cawapres lain yang menjadi pesaingnya, dan besaran kelengkapan kapital masing-masing sosok capres ataupun cawapres, turut berpengaruh.

Hanya saja, sekalipun semua berpengaruh dalam kombinasi capres dan cawapres, tetap saja semua berpulang pada putusan politik Prabowo dan kesediaan cawapresnya.

 

*Artikel ini telah tayang di Kompas.id

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close